Bab 29

7 4 0
                                    

Lebaran tinggal di depan mata. Orang-orang sibuk mempersiapkan mudik ke kampung halaman mereka. Begitu pun dengan Mun.

Kepulangannya yang pertama membuat dirinya tak bisa menahan bahagia. Ia sudah tidak tahan lagi menampung kerinduan di dada.

Pulang, adalah satu kata yang mendefinisikan segala tempat untuk menumpahkan semua rasa kangennya.

Sementara rekan kerjanya sudah pulang duluan. Ia dan temannya, Asri baru akan pulang bersama hari ini.

Ini adalah pengalaman pertama Mun menaiki bus dari arah cirebon. Jika tidak ada Asri, mungkin dia sudah kebingungan seperti orang gila di tengah riuhnya ratusan manusia berlalu lalang sambil menenteng tas bawaannya yang besar-besar.

Ini juga kali pertama Mun mudik. Dulu, kata mudik hanya menjadi bahan berbicangnya saja dengan tetangga. Namun sekarang ia sendiri yang merasakannya. Ternyata begini rasanya menjadi pemudik beneran. Bangung di pagi buta mempersiapkan segalanya dan berdesak-desakan dengan banyak orang saat tiba di terminal.

Jika Mun tidak sabar, sedari tadi ia sudah cekcok dengan orang-orang. Tadi saja sempat ada keributan antar penumpang hanya karena siapa dulu yang masuk bus duluan.

Benar-benar riuh!

Mungkin karena Mun terbiasa mengalah, melihatnya mendahulukan orang-orang untuk naik duluan membuat Asri geram. Padahal niat Mun baik, ia hanya mencegah keributan.

"Mun ayo naik," perintah Asri dengan kesal.

Sambil menaruh tas hitam berisi jajanan untuk di rumah, Mun menjawab,

"Bentar Sri. Itu kasihan ibu-ibu."

Tanpa menjawab lagi, Asri langsung menarik tangan Mun dan menerjang kerumunan di depan. Lalu dua menit kemudian ia sudah berada di dalam bus itu.

Sesampainya di tempat duduk mereka, Asri masih memasang wajah kesalnya. Raut wajahnya masih terlipat. Sedang Mun masih dengan polosnya bertanya sebelum menata barang-barang bawaannya.

"Sri. Bukannya kita udah beli tiket yah? Kenapa kita harus buru-buru naik si? Kan nanti juga naik semua," ucapnya dengan lugu.

Asri masih menata tas gendong dan tas jinjingnya di atas langit-langit bus. Sambil menaruh tas-tas milik Mun juga.

Mun menyerahkannya dengan terus mengoceh tanpa henti.

Lalu mereka pun duduk dengan nyaman bersisian.

"Sri. Kamu kok diem aja si," tagih Mun lagi.

Dengan meraih botol minum di sisinya, ia menengguk semua air di dalamnya hingga botol itu kering kosong.

"Kalau kita naik paling terakhir, bisa-bisa kita nggak kebagian tempat duduk Mun. Atau kalau kita naik paling terakhir, kita nggak bisa milih tempat duduk sesuai keinginan kita."

Mun tidak terlalu antusias mendengar penjelasan Asri. Baginya, mendahulukan orangtua adalah yang paling utama. Itu pelajaran pokok yang selalu bapaknya ajarkan kepadanya.

"Kita boleh jadi orang ngalahan. Tapi jangan selalu ngalah Mun. Mengalah itu ada waktu dan tempatnya," jawab Asri.

Ucapan Asri kali ini membuatnya sedikit berpikir.

Sambil melepas jaket lefis lungsuran milik tetangganya dan memakaikannya lagi dari depan, Mun berusaha memposisikan duduknya agar lebih nyaman dan kembali memikirkan kata-kata Asri barusan.

Benarkah mengalah itu ada waktu dan tempatnya? Benarkah tidak setiap saat kita mesti mengalah?

Bapak tidak mengatakan tentang itu. Katanya hanya, "kita harus mengalah. Jika ada orang yang lebih tua dari kita, dahulukan mereka."

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang