Bab 28

10 4 0
                                    

Mun sedang berada di kamar mandi ketika ponselnya berdering. Sehingga ia pun tak bisa mendengarnya. Asri yang merasa terganggu akan bisingnya nada dering khas Nokia yang berkali-kali teriak, lantas membuatnya mengecek sendiri.

Dilihatnya ponsel itu, dibacanya baik-baik nama kontak yang tertera.

Pak RT.

"Mun, Pak RT telvon nih," teriak Asri dari balik pintu kamar mandi.

Mun yang bersiap-siap keluar karena tak ada lagi suara guyuran air di dalam, lantas menjawab, "Angkat dulu Sri. Minta tolong yah," ucapnya sambil mengenakan kaos hitam lengan panjangnya.

Asri pun menuruti perintah Mun.

"Hallo, Assalamu'alaikum?"

"Wa'alaikumsalam. Mun......"

"Ngapunten ibu, Niki temennya Mun. Asri. Mun nya kebetulan lagi mandi. Sebentar lagi keluar."

"Oh njih nok," sahut Aminah dari balik telfon.

Aminah pun menunggu sampai Mun keluar dari kamar mandi tanpa mematikan ponselnya lagi.

"Mana Sri?" pinta Mun sambil meraih ponsel dari Asri sambil meremas-remas rambutnya yang basah dengan sebuah handuk.

"Iya Mak?"

"Apa Kabar Nok?"

"Baik Mak. Alhamdulillah,"

"Sri. Tolong nanti kalau ada orang, kamu layanin dulu yah. Aku mau ngobrol sama Mamak di belakang."

Asri hanya mengangguk dan Mun pun akhirnya berlalu meninggalkan Asri menuju ruang belakang.

Mereka berdua mengobrol hanya beberapa menit karena Mun belum sholat ashar. Namun meski begitu, walau singkat mereka begitu banyak membicarakan hal-hal seperti Pur yang susah sekali dibangunkan waktu sahur, Nur yang sempat sakit beberapa kali, juga Sabar yang sedang pergi selametan di rumah tetangga.

Sejenak Mun merasa selama ia merantau, Mamaknya semakin baik. Ia jarang berkata kasar atau bicara dengan bernada tinggi. Semua yang pernah dikatakannya lewat telfon selalu lembut dan menentramkan. Membuat Mun semakin merindukan rumah.

Mun tahu, sebagaimana ia merindukan rumah, keluarganya terutama sang ibu juga merasakan hal yang sama. Ini selalu terjadi, namun tidak pernah dalam keluarganya tiap kali sedang merasa rindu, mereka akan mengungkapkannya dengan kata rindu pula. Tidak pernah, itu bukan budaya mereka.

Mun percaya puncak rindu seseorang bukan dengan mengungkapkannya melainkan dengan sikapnya yang teramat lembut yang tidak dilakukan sebelumnya.

Itu sangat terlihat jelas dari sikap mamaknya. Bahkan bapaknya pun kalah lembutnya. Mun sangat bersyukur melihat pemandangan ini. Ia pun bersyukur karena telah diberi rasa rindu. Rasa yang paling sesak namun nikmat.

Di tengah perbincangan mereka, Mamaknya mengadu bahwa Pur menanyakan kapan dirinya pulang. Mun yang tak percaya akan hal itu pun girang dalam hatinya. Apakah Pur merindukannya? Mun merasa kalau Pur memang sangat merindukannya. Tapi dia tidak tahu saja kalau alasan Pur berkata seperti itu hanya karena dirinya tak mau menderita.

Tidak peduli Mun tahu atau tidak mengenai hal ini, dengan membetulkan kucir di rambut hitam panjangnya, ia pun menjawab,

"Mun pulang h-7 lebaran Mak."

Suara Aminah sayup-sayup terdengar sedang berbisik pada adik bungsunya yang sedang rewel.

"Nur, anak manis. Sini tebak siapa yang lagi ngomong coba," goda Mun dari balik telfon.

Aminah yang mendengar Mun ingin mengobrol dengan Nur pun mendekatkan ponselnya ke arah Nur.

Nur terlihat mengerang sambil berusaha meraih telfon yang ditarik ulur oleh Aminah. Ia memahami suara dalam ponsel itu sehingga tiap kali Mun mengatakan sesuatu, Nur meresponnya dengan erangan pelan dan raut wajah bingung yang menggemaskan.

"Pur sih ke mana Mak?" tanya Mun kemudian.

"Nggak tau. Pergi dia."

"Loh. Ini kan udah sore Mak. Emang Pur nggak bantu-bantu Mamak nyiapin buka puasa?"

"Nggak. Kan Bapak nanti pulang dapet nasi berkat. Cukup Kok buat berempat," jelas Aminah.

Mun terlihat manggut-manggut walau tak bisa dilihat oleh Mamaknya.

"Pur masih main-main terus ya Mak?" tanya Mun dengan nada yang berbeda.

"Ya begitulah Mun. Susah sekali diatur adikmu itu. Mamak sampe kalakaku dibuatnya."

Setiap kali Mamaknya yang bicara di telfon, Aminah tak pernah luput mengadu kelakuan Pur kepada Mun. Bahkan ia tak jarang membanding-bandingkan Pur dengannya di depannya langsung.

Mun memaklumi keluhan ibunya, tapi ia juga tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa dirinya tak nyaman tiap kali dibanding-bandingkan.

Setiap anak memang pernah berada di fase tidak nurut, setiap anak pernah berada di fase menjengkelkan. Dan saat-saat itu, sangat tidak baik jika orang tua terus membanding-bandingkannya dengan orang lain terlebih dengan anak yang usianya jauh di atasnya. Jelas itu sudah beda nalar. Tidak bisa disamakan mau bagaimanapun bentuknya.

Mun selalu percaya bahwa setiap anak punya waktunya masing-masing. Mereka punya waktunya tersendiri untuk nurut, untuk patuh pada orang tuanya. Bukan karena dia tidak nurut pada satu dua hal, lantas semuanya terlihat buruk. Tidak begitu konsepnya.

Mun sering kali melihat fenomena-fenomena anak tetangga yang diputuskan masa depannya akan buruk hanya karena melanggar satu dua perintah dari mamak atau bapaknya. Padahal mungkin saja saat itu mereka sedang lelah atau badmood sehingga tidak mau disuruh-suruh. Hanya soal seperti itu saja kalimat-kalimat, "Kamu mau jadi apa kalau besar nanti?", " Anak diatur kok susah sekali! Mau jadi apa kamu?", "Kamu kalo ngga nurut, bakal bla bla bla bla". Hanya ada kata-kata buruk yang terucap.

Sering kali orang tua tidak memahami kondisi anaknya. Mereka hanya ingin selalu dilayani dan dituruti perintahnya. Merasa menjadi dewa bagi anak-anaknya sehingga tiap kali anaknya tidak patuh, lantas kutukan pun akan datang menghampirinya.

Mun tahu orang tua adalah wujud dewa, tapi bukan berarti hidup anak-anaknya bergantung pada mereka seluruhnya. Kadang-kadang anak juga ingin dimengerti bukan hanya terus disuruh-suruh. Namun para orang tua lebih besar rasa ingin dimengerti nya ketimbang perasaan anaknya sendiri.

Untuk beberapa hal Mun memaklumi mamaknya. Tapi dia juga tak bisa menyalahkan Pur sepenuhnya. Mun justru kasihan pada Pur, ini adalah saat-saat yang sulit baginya.

Kadang-kadang Mun merasa bersalah karena sejak ia merantau, Pur yang harus dibebankan semuanya. Mun memahami ketidaknyamanan Pur dari sikapnya yang tidak mau bicara tiap kali Mun telfon.

Pur tidak sesiap Mun waktu dulu yang apa-apa harus dituntut untuk siap. Kadang-kadang Mun berpikir mengapa perempuan selalu dihadapkan pada ketidaksiapan dalam hidupnya? Apakah laki-laki juga mengalami hal yang sama? Entahlah. Yang jelas, Mun benar-benar merasa bersalah menghadapi kenyataan ini. Ia tidak tahu kalau kejadiannya akan begini.

Tak jarang Mun menyalahkan diri sendiri. Apakah dirinya egois? Apakah dia akar penyebab dari penderitaan yang dirasakan Pur?

Tak dipungkiri, Kadang-kadang Mun takut jika ketidaksiapan Pur akan mempengaruhi sikapnya di masa depan. Dan mengganggu hubungan mereka berdua.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang