Bab 13

13 4 0
                                    

Petir tak mau hengkang mengejar hujan, hujan pun tak henti-hentinya meninggalkan bumi. Hampir jam 9 malam langit tak kunjung meredakan tangisnya.

Pur begitu bingung, apakah dia langsung pulang saja dengan tangan kosong atau mencari bantuan dari orang lain. Kalau dia langsung pulang, maka usahanya sia-sia. Bapaknya tidak ada yang mengobati. Tetapi kalau lanjut mencari orang lain, dia tidak tahu siapa yang akan ditujunya.

"Apa yang harus ku lakukan Ya Allah," ucap Pur sambil terus menimbang-nimbang kebingungannya.

Matanya menyapu pandang, giginya mulai bergemeletuk sambil kedua lengan kecilnya memeluk tubuhnya sendiri. Benar-benar tidak ada siapapun. Hanya Pur seorang yang teronggok kesepian di gubuk yang hampir mau roboh itu.

Beberapa saat kemudian, setelah Pur berkutat dengan pikirannya yang saling berdebat, sebuah sepeda motor melintas di depan gubuk tersebut.

Dilihatnya baik-baik, matanya terpicing-picing karena wajah orang tersebut tertutup guyuran hujan.

Setelah seseorang tersebut juga melirik ke arah Pur, akhirnya Pur pun bisa melihatnya dengan jelas.

Mang Kardi!

"Pur kamu lagi ngapain di situ sendiri?" ucapnya seraya meminggirkan motor di samping jalan, tepat di depan gubuk Bi Dami.

"Saya lagi nunggu Bi Dami Mang," jawab Pur sambil terus bergemeletuk.

"Memangnya Bi Dami ke mana?" jawabnya sambil melirik ke dalam gubuk.

"Nggak tahu mang. Saya ketuk-ketuk pintunya nggak dijawab sekalipun."

"Duh. Biasanya tidur di rumah cucunya berarti kalau tidak ada di rumah."

"Kamu memang mau apa cari Bi Dami?" lanjut Mang Kardi.

"Bapak sakit Mang, pinsan saat memimpin tahlil."

"Pak Sabar pinsan lagi?"

Pur mengangguk. Giginya semakin kencang bergemeletuk. Sekarang bibirnya pun mulai pucat.

"Ya sudah ayo kamu bonceng Mamang. Kita bawa bapakmu ke mantri. Barangkali sebentar lagi hujannya reda."

"Iya Mang. Makasih Mang."

Mereka pun langsung bergegas ke rumah Sabar.

Pur bersyukur ada Mang Kardi datang. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi pada dirinya dan bapaknya.

Setelah kurang dari sepuluh menit Pur dan Mang Kardi menerabas hujan yang tidak sederas sebelumnya, mereka pun sampai di rumah Sabar. Pur mengusap wajahnya yang penuh tempias air hujan.

Tidak ada yang peduli tubuh mereka kedinginan bahkan dirinya sendiri karena ini momen yang genting. Kepanikan tak terelakkan terselip di wajah keduanya.

Sesampainya di sana, di luar dugaan Pur dan Mang Kardi. Sabar sudah sadar dari pinsannya.

"Alhamdulillah Pur kamu pulang," seru Aminah yang raut wajahnya sedikit bersinar.

"Bapak gimana Mak?"

"Bapak sudah sadar. Alhamdulillah."

Alhamdulillah, Pur sangat lega. Pasalnya, dia tidak berhasil membawa Bi Dami bersamanya. Namun untung saja bapaknya segera siuman.

"Kita periksa saja Pak Sabar bu?"

Sabar langsung menggeleng. Menolak ajakan Mang Kardi.

"Kenapa Pak? Bapak sudah pinsan 2x loh," ucap Mang Kardi.

Ucapannya membuat Aminah dan Pur berpikir, "iya juga". Mereka berdua mengira pasti ada apa-apa pada Sabar.

"Apa yang Bapak rasain Pak? Sakit di bagian mana?" Aminah belum berhenti juga dari rasa khawatirnya.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang