Berbeda dengan Pur yang menjalani bulan ramadhan dengan riang di desa kecilnya, Mun harus ekstra keras membiasakan diri untuk menghabiskan bulan puasa di rantauan yang jauh dari keluarga.
Jika dulu setiap jam 2 pagi ia dibangunkan oleh umbul desa, maka sekarang hanya inisiatif dari tubuhnya saja. Jika dulu pagi-pagi sekali Mun bangun ikut memasak makanan untuk sahur dengan mamaknya, maka sekarang tidak. Jika dulu Mun ngabuburit bersama teman-teman nya nongkrong di kali kalau mamaknya tidak sedang butuh bantuan, maka sekarang waktunya hanya dihabiskan untuk masak, masak, dan masak.
Semua bayangan saat-saat ramadhan di rumah membuat hatinya terkoyak, Mun ingin sekali pulang. Apalagi di rumah ada Nur. Pasti kondisi rumah akan lebih ramai.
Suara lantunan ayat suci yang keluar dari bibir bapaknya pun tak jarang berseliweran di telinganya.
Mun selalu melihat bapaknya duduk di teras rumah dengan peci hitam, baju koko putih lusuh dan sarung motif kotak-kotak yang mirip seperti papan catur sambil membaca alquran dengan tartil setiap menjelang maghrib. Walau mata bapaknya sering kali terpicing-picing karena melihat huruf Arab yang berukuran kecil membuatnya ingin sekali membelikan al Quran yang lebih besar kalau sudah pulang nanti.
Sungguh, hatinya begitu tersayat tiap kali kenangan-kenangan itu bermunculan di kepalanya. Hingga pernah suatu ketika jarinya sampai tergores pisau ketika ia sedang memotong kol sampai darahnya mengalir banyak.
Asri yang selalu berada tak jauh darinya pun langsung panik, dan membelikan hansaplast untuknya. Lalu Mun dimarahi habis-habisan oleh Asri karena bekerja sambil melamun.
Mun tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Mengapa dirinya begitu lekat dengan momen-momen kebersamaan dengan keluarganya di masa lalu. Mengapa Asri dan yang lainnya tidak begitu? Mengapa hanya dia yang terlalu mengingat ke belakang?
Hingga timbul sebuah pertanyaan,
Apakah mereka tidak merindukan keluarganya di rumah? Mengapa selama Mun bekerja di sini tak ada yang menyinggung atau bercerita tentang keluarganya?
Pertanyaan itu muncul begitu saja di kepalanya dan turun di kerongkongannya.
"Sri. Kamu pernah mikirin keluargamu di rumah nggak?" tanya Mun ketika mereka sedang mempersiapkan lauk pauk untuk ditaruh di etalase depan menjelang berbuka.
Asri yang bolak-balik mengambil nampan besi berisi tempe orek dan ikan goreng mujaer itu mendadak berhenti dengan tetap menyangga keduanya.
"Pertanyaan macam apa itu Mun? Jelas Aku mikirin lah," jawabnya sambil berlalu menuju etalase.
Mun yang hanya membuntuti langkah Asri lantas ikut membantunya membawa lauk-pauk lainnya ke depan.
"Kamu sering kangen nggak sama mereka?"
Asri menggeleng santai.
"Tidak?"
Sekarang Asri mengangguk.
"Iya apa tidak?" tanya Mun sekali lagi.
Sekarang Asri benar-benar menghentikan langkahnya dan menatap sahabatnya yang rewel itu.
"Emang kenapa sih tanya-tanya itu?" tanya Asri kesal.
Mun menggeleng lemah, tak enak karena sudah membuat Asri sebal oleh pertanyaannya.
"Aku emang mikirin keluargaku di rumah. Tapi Aku sama sekali nggak kangen mereka Mun. Biasa saja," jawabnya dengan nada yang tak se tegang sebelumnya.
Mendengar jawaban Asri, Mun mendadak bingung. Apa bisa memikirkan seseorang tanpa merindukannya? Hanya memikirkan dan tidak melibatkan rindu? Bagaimana bisa? Bukankah memikirkan seseorang tidak lain adalah manifestasi dari rindu?
"Bagaimana bisa kamu nggak kangen mereka Sri?" tanya Mun sedikit tak setuju.
"Bisa dong," jawabnya singkat.
Mun semakin heran dengan jawaban Asri. Apa ada seseorang di dunia ini yang tidak merindukan keluarganya? Tapi kenapa? Bukankah kata orang-orang bijak keluarga adalah segalanya? Keluarga adalah tempat pertama sekaligus terakhir untuk berkeluh kesah.
"Aku masih tidak paham dengan jawabanmu Sri," jelas Mun dengan jujur.
"Ya namanya orang Mun. Beda-beda karakternya. Sudah lah Aku mau ke belakang dulu," ucap Asri sambil berlalu. Meninggalkan senyap di hati Mun.
Mun tak pernah melihat gelagat seperti ini dalam diri Asri. Asri yang ia kenal ramah, ceria dan tidak gampang terpancing emosi. Tapi ketika ia bertanya tentang keluarganya, Asri terlihat kesal.
Apa sesuatu telah terjadi? Apa keluarga Asri sedang tidak baik-baik saja?
Mun jadi teringat sesuatu. Selama ia bekerja di sini dengan Asri, Mun tak pernah melihat Asri menelfon keluarganya di rumah. Apa itu berarti jawaban Asri benar? Ia tidak pernah merindukan keluarganya. Karena jika dibandingkan dengan Mun, Mun sering sekali telfon ke rumah. Walau di rumah tak ada ponsel dan harus pinjam dulu di Pak RT. Namun baginya mengobrol dengan keluarga dan mendengar suaranya adalah sesuatu yang selalu dinanti-nantikannya.
Bahkan Mun selalu menelfon rumah seminggu sekali. Kadang-kadang seminggu dua kali kalau-kalau di rumah yang telfon dulu.
Jika saja ia punya hp sendiri, Mun pasti akan menelfon rumah setiap malam. Ngobrol dengan mamak dan adeknya juga mendengar nasihat sebelum tidur dari bapaknya. Tapi Mun tak enak karena ponsel itu milik pak RT.
Sambil terus mematung dengan terus berkutat dengan pikirannya, Mun mulai penasaran apa yang dipikirkan Asri? Mengapa dia tak pernah menelfon ke rumah? Oh atau Mun saja yang kebetulan tidak menyaksikan setiap Asri sedang menelfon.
Mun tak bisa berhenti memikirkan semua itu. Sesuatu yang bersinggungan dengan anggapannya, maka Mun takkan melepaskannya barang sedikitpun. Mun selalu mencari jawaban mengapa orang-orang berbuat sesuatu contohnya seperti Asri tadi.
Tidak merindukan keluarga di rumah adalah kesalahan besar. Tidak sepatutnya Asri bersikap seperti ini. Keluarga selalu berhak dirindukan bukan hanya dipikirkan.
Bagi Mun, siapapun yang berada jauh dari keluarganya, rindu akan selalu datang mengungkungnya. Itu hukum alam, tidak mungkin ada yang bisa menyangkalnya.
Apa yang bisa diucapkan mana kala jauh dengan orang-orang tersayang kalau bukan kerinduan? Jika jarak adalah hidangan sehari-hari, maka sudah pasti cara melahapnya dengan rindu yang terpatri.
Jarak adalah penyakit, dan rindu adalah rasa sakitnya. Jarak adalah api dan rindu adalah kobarannya. Jarak adalah mata dan rindu adalah rintik hujannya.
Bagaimana bisa seseorang tidak merindukan orang-orang terkasih yang jauh darinya? Sedang waktu selalu memberi kita kesempatan untuk menciptakan momen mesra. Bahkan waktu bukan hanya memberi kesempatan, tapi benar-benar menyerahkan momen-momen indah kepada kita.
Aku yakin, Aku bahkan sangat yakin waktu tak pernah pilih kasih dalam memberi momen itu. Semua orang selalu punya momen indah dan kebersamaan dengan orang-orang yang dicintainya.
Sangat tidak mungkin jika waktu yang kita habiskan selama ini tak mencipta kenangan satupun. Semua orang punya kenangannya. Ketika kenangan itu buruk sekalipun, ia berhak untuk dikenang. Bahkan kenangan buruk sering kali membawa kesan yang lebih mendalam dan banyak mengandung pelajaran.
Kenangan selalu handal dalam mengupas momen-momen di masa lalu. Dan tak pernah gagal membuat hati mengelupaskan rindu.
Begitu Mun berkutat dengan pikirannya. Ia semakin penasaran akan sikap dari sahabatnya itu. Mengapa Asri sampai tidak merindukan rumahnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...