Cuaca panas menyelimuti hati Pur setelah ia seharian dimarahi oleh Mamak dan Yayu nya. Awan mendung mengitari kelopak matanya yang bulat. Langkah kakinya kini tak mau membawanya pergi. Pur sempurna tak bersemangat menghabiskan sisa hari.
Ia kembali ke rumah saat menjelang maghrib, bahkan tepat saat adzan maghrib berkumandang.
Ia sama sekali tidak takut akan omelan Mamak dan Yayu nya. Sampai nekat pulang terlambat.
Bagi sebagian anak-anak di desa, walaupun orangtua tidak melarang anaknya bermain, namun aturan tetap berlaku, mereka harus sudah sampai rumah maksimal jam 5 sore. Jika tidak, orang tua, kakak atau salah satunya pasti akan mencarinya dan memarahinya ketika sudah ketemu.
Pur pun demikian, dia tahu konsekuensi apa yang akan dihadapinya jika telat pulang begitu, namun dirinya tak peduli. Hatinya sudah buta karena marah pada mamak dan kakaknya. Kalaupun nanti dimarahi, paling masuk kuping kanan keluar kuping kiri, begitu pikirnya.
Pur sampai di rumah tepat ketika Mun, kakaknya hendak pergi mencarinya. Mereka berdua mematung seketika di tengah pintu.
Di liriknya ke arah Aminah, tentu saja ibunya naik pitam. Dan mulai marah-marah lagi.
"Kamu itu, anak macam apa kamu! Susah banget diatur!"
Mulut ibunya seakan berbusa melontarkan ocehan-ocehan yang sama sekali tidak didengar Pur.
Mun yang berdiri di sisi sebelah kiri adiknya lantas hanya diam saja. Memperhatikan Pur dimarahi oleh mamaknya.
"Dari mana saja kamu!?"
"Main," jawabnya tanpa rasa bersalah.
"Kamu pergi ke mana aja Pur? Kita semua khawatir di sini. Kamu kalau main jangan sampe maghrib pulangnya. Bahaya nanti ada yang nyulik."
Mun terus menasehati Pur. Di sudut lain, mamaknya terus marah-marah, membentak dan membentak. Di sampingnya si dede bayi sudah terlelap.
Pur hanya diam saja dari tadi. Dan beberapa detik kemudian, tangan ibunya mencengkram kayu lidi beberapa helai mendekati Pur yang tetap berdiri di tempat.
Dia benar-benar tidak takut! Padahal tubuhnya hampir mau dipecut menggunakan kayu lidi itu.
"Stop," sesaat sebelum kayu itu mendarat di punggung Pur, suara Sabar menghentikan tangan Aminah.
Sabar langsung merampas dan sedetik kemudian kayu itu berpindah tangan ke Sabar.
"Ada apa sih ini Bu? Ya Allah marah-marah terus kamu itu."
"Sudah bapak diam saja. Nggak usah ikut campur. Ini anak mesti dikasih pelajaran biar tahu rasa!" mata Aminah menghujam ke arah Pur dengan ganas.
"Dibicarakan dengan alon kan bisa bu. Nggak usah marah-marah begitu. Kamu kalau marah-marah terus nanti ASI nya ikut panas. Bisa-bisa bayi kita nanti besarnya marah-marah terus kayak kamu."
"Biarkan saja!"
Sabar tak mau menanggapi jawaban istrinya lagi, karena itu sangat sangat sangat percuma dan hanya akan membuang-buang energi saja.
Sabar menyerahkan Pur kepada kakak tertuanya. Mun langsung tahu apa yang harus dilakukannya sebagai kakak.
Mun menggiring Pur ke belakang dan menyuruhnya untuk mandi.
"Aku gak mau mandi!"
"Pur!" bentak Mun.
"Yayu kok jadi ikut-ikutan marah-marah terus kayak mamak sih sekarang!" Pur juga tak mau kalah.
"Kamu yang nurut Pur. Kalau kamu mau di sayang semua orang, nurut. Udah itu aja."
Pur tak menjawab, hanya berlalu begitu saja melewati kakaknya. Mun benar-benar mengelus dada banyak-banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...