Sore itu hujan turun begitu deras. Dahan-dahan ranting gelimpungan di terpa badai, burung-burung hengkang mencari tempat bersembunyi, juga beberapa selokan yang tak bisa lagi menampung air hujan. Air mulai naik hingga di atas mata kaki.
Sampai menjelang maghrib, hujan masih enggan juga berhenti. Seolah di langit sana sedang berduka entah menangisi apa.
Awan gelap terus menyelimuti desa. Aminah yang sambil menggendong Nur yang sudah tidur di pangkuannya itu merasa begitu was-was sampai suaminya pulang.
"Gimana Pak? Udah ketemu?" tanya Aminah dengan terus mengelus-elus kepala Nur supaya tidak bangun karena bunyi petir yang sesekali menggelegar.
Sabar dengan pakaian basah kuyupnya melepas topi yang tidak berguna mencegah dirinya dari kebasahan itu, "Belum Bu."
Meski Sabar tak se khawatir Aminah, mereka sama-sama cemas memikirkan keberadaan Pur.
Entah di mana dia hujan-hujan begini.
"Bapak udah nyari Pur di mana aja?"
"Sudah Bu. Semua rumah teman-temannya yang biasa dia main katanya nggak ada. Bapak sudah ke rumah Mang Kardi, kata anaknya, Si Yuyun dari pagi mereka tidak main bersama. Tanya Ke Bu Lilis juga tidak melihat. Terus ke rumah Tio juga tidak ada. Semuanya tidak melihat Pur pergi ke mana."
"Duh terus di mana dong Pak. Ibu cemas Pak. Takut terjadi apa-apa sama Pur. Mana hujannya gak berenti-berenti. Bentar lagi maghrib."
"Sabar Bu. Kita berpikir yang baik-baik saja dulu. Barangkali Pur lagi di rumah temen lainnya."
Sampai waktu maghrib tiba Pur belum juga terlihat di ujung jalan, Aminah terus berdiri di depan pintu. Sesekali lari ke dalam kalau petir datang menyambar. Kemudian berdiri melongok ke luar. Begitu terus tanpa henti.
Sabar yang melihatnya belum makan dari siang, menyuruhnya untuk makan. Supaya perutnya tidak sakit.
"Ibu nggak laper Pak."
"Sedikit saja Bu."
Dia tetap menggeleng.
Sabar pun bingung harus bagaimana.
Di sisi lain, saat waktu hampir mau isya, terdengar kabar dari toa kalau kali Sasakan yang tidak jauh dari rumah mereka meluap. Hujan kiriman dari selatan datang berbondong-bondong hingga airnya meluap tepat beberapa meter dari rumah Sabar.
Mereka semakin cemas, belum selesai memikirkan Pur. Ditambah banjir yang tiba-tiba datang menggedor rumah mereka. Rumah Sabar memang kecil, beralas tanah dan beratap genteng yang sudah lapuk. Permukaan tanahnya benar-benar sangat rendah, hingga gerombolan air memasuki rumah Sabar seketika.
Mereka tak sempat membuat tanggul untuk menutupi pintunya. Satu-satunya cara adalah menyelamatkan barang-barang. Beruntung tidak banyak barang-barang yang berada di rumahnya. Mereka hanya perlu menyelamatkan beberapa dokumen penting, dan kasur. Lalu ditaruhnya di atas lemari. Baju-baju yang ada di lemari bawah, langsung di taruhnya ke rak paling atas.
Sementara Sabar dan Aminah sibuk menyelamatkan barang-barang penting, Nur ditaruh di kursi sambil diikatkan ke tubuhnya dengan tapih supaya tidak bisa ke mana-mana.
Kursi dan meja sepertinya tidak perlu di selamatkan, karena airnya tidak lebih tinggi dari lutut anak-anak. Namun mereka tetap harus waspada. Mereka perlu menyelamatkan barang-barang terutama yang jelas-jelas tertempel di tanah.
Tak ada tetangga yang membantu Sabar dan Pur. Mungkin mereka juga sibuk menyelamatkan diri dan barang-barangnya masing-masing. Sehingga Sabar dan Pur harus ekstra keras bekerja. Pun rumah mereka terpisah sendiri dari rumah warga lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...