Bab 18

8 5 0
                                    

Udara malam hari ini begitu dingin, setelah hujan mengguyur lebih dari 4 jam. Semakin malam air semakin naik, membuat Sabar harus ekstra hati-hati menyusuri jalan.

Waktu terus berjalan, malam semakin menunjukkan kelamnya. Membuat Sabar semakin bingung harus mencari Pur ke mana lagi.

Telapak kakinya sudah pucat, wajahnya juga begitu lelah. Namun Sabar belum kehabisan tenaga. Bagaimana pun Pur harus ditemukannya malam ini juga.

Ia berjalan ke mana pun tanpa tujuan. Celana hitam panjang yang dilingkisnya setinggi lutut itu terus berjalan, satu tangan kokohnya menggenggam senter dan yang lainnya menahan celananya agar tidak kebasahan.

Dalam gelapnya malam, pohon-pohon bermuram melihat Sabar melintasi jalanan. Daun-daun yang basah akibat sisa hujan tadi turut melambaikan tangan, menaruh sapa ke mana dirinyad akan pergi.

Tempat pertama yang didatanginya adalah sungai. Yah, sungai!

Jika banjir begini, orang-orang dewasa banyak berdatangan melihat sungai yang memuntahkan air hujan dari hulu. Hal ini memang sering dilakukan warga di desanya. Mereka akan mengamati tinggi air, dan apakah akan membahayakan pemukiman warga atau airnya masih tergolong normal.

Sabar mendekat di salah satu kerumunan sebelah selatan, dekat kandang wedus milik warga yang semakin ke selatan makin lebat semak belukar dan deretan pohon pisang.

Kemudian dilihatnya tanggul sungai yang jebol dari arah kejauhan. Air di sana lebih mirip seperti air terjun, jatuh dengan derasnya menyerbu rumah-rumah warga. Namun Sabar biasa saja, itu banjir yang teegolong masih ringan menurutnya. Karena tanggul yang jebol tidak terlalu lebar.

Sungai yang mengalir dari selatan ke utara itu semakin larut malam semakin membucahkan derasnya saja.

Mata Sabar melirik ke segala arah, dilihatnya satu persatu orang-orang yang sedang berdiri menatap sungai dari atas jembatan. Tak ada tanda-tanda Pur di sini.

Yang benar saja, mana mungkin dia di sini. Beberapa saat setelah ia berjalan ke sana kemari, Sabar menangkap sekerumunan anak-anak seusia Pur. Diperhatikannya baik-baik satu persatu bocah yang entah sedang apa malam-malam di sini.

Tidak ada, tidak ada Pur di sana. Itu anak tetangga desa yang mungkin ingin melihat sungai yang bentengnya jebol atau barangkali sekadar mau nongkrong tidak jelas. Yang jelas adalah tidak ada Pur di sana, mereka laki-laki semua.

Sabar mulai khawatir, sudah setengah jam lebih ia mencari. Apakah ia minta bantuan saja pada warga?

Ah, tapi Sabar tidak enak minta bantuan di saat warga desa sedang kesusahan begini. Maka ia pun mengurungkan niatnya.

"Pak Sabar," panggil salah seorang di belakangnya ketika Sabar hendak pergi dari sana.

Sabar melirik sekilas, itu Pak RW.

"Iya Pak?"

"Saya perhatikan dari tadi kok kayaknya Pak Sabar sedang kebingungan. Bapak nyari siapa?" tanya lelaki yang mengenakan sarung bermotif kotak-kotak di tubuhnya itu.

Sabar berdiam sejenak, berpikir. Apakah ia beritahukan saja kalau anaknya, Pur belum pulang dari siang. Sabar juga mulai risau, malam semakin larut. Tapi ia belum juga menemukan Pur. Tapi jika ia ceritakan kepada Pak RW, bisa jadi semua orang akan membantu mencari. Itu akan merepotkan banyak orang. Apa yang harus dikatakannya?

"Eh, tidak Pak. Lagi liat-liat saja. Banjirnya gimana Pak? Kira-kira bisa surut tidak yah?"

"InsyaAllah Pak. Banjir tahun ini tidak terlalu parah. Sebenarnya ini hujan kiriman dari selatan. Di daerah kidul sana tanggulnya ada yang jebol. Jadi air yang jebol pas deket kandang wedus Pak Sardi itu tidak terlalu banyak menumpahkan air," jelasnya sambil melirik ke arah air terjun dadakan itu.

"Alhamdulillah kalau gitu ya Pak."

"Iya. Lah Pak Sabar gimana rumahnya? Aman kan?"

"Sempet masuk rumah airnya Pak. Tapi tingginya nggak sampe lutut anak-anak sih."

"Iya Pak. Kalau saja permukaan tanahnya tinggi ya Pak. Pasti airnya tidak akan masuk. Di RT 05 saja banyak air yang tidak sampai masuk rumah, hanya sampai pelataran saja. Paling di RT 01 itu terutama rumah-rumah yang di bangun dari jaman dulu. Termasuk rumah bapak."

"Iya Pak," jawab Sabar seadanya.

Sabar harus bergegas mencari Pur lagi. Ia tidak boleh berlama-lama ngobrol di sini.

"Ya sudah Pak. Saya pergi dulu kalau begitu. Kasihan Aminah di rumah saya tinggal."

Sabar melayangkan kakinya kembali menembus jalan yang dipenuhi air berwarna coklat butek itu.

Hatinya benar-benar sesak, gundah gulana. Pikirannya berlarian ke sana ke mari menduga-duga tanpa tahu ke mana gerangan anaknya pergi. Pasalnya Pur dari siang tidak kenapa-kenapa. Pagi ia pergi sekolah, pulang, makan, lalu pergi main dengan teman-temannya. Biasanya dia tidak pernah begini. Se lupa-lupa nya Pur bermain, ia tidak pernah sampai tidak pulang.

Apa Pur takut pulang gara-gara mainnya terlalu sore? Apa dia takut dimarahi mamaknya?

Tidak mungkin!

Pur tidak pernah takut akan apapun. Apalagi omelan dari mamaknya. Walaupun Sabar tahu Pur anak yang bandel kalau dibilangin, tapi Pur selalu berani menghadapi situasi apapun. Padahal usianya masih kecil.

Pernah suatu ketika dia pulang terlambat, Aminah memarahinya habis-habisan sampai menjewer kedua telinganya hingga memerah. Tapi Pur tidak menangis, Ia hanya meringis sesekali menahan sakit. Dan ketika Aminah selesai dengan amukannya, Pur menjelaskan keterlambatannya pulang gara-gara habis membantu ibu temannya untuk membantu mempersiapkan acara selametan.

Aminah sontak merasa begitu bersalah karena sudah memarahi Pur tanpa mendengar penjelasannya dulu. Aminah sempat minta maaf, tapi Pur tidak peduli. Ia memilih pergi ke kamarnya. Dan seolah melupakan kejadian itu begitu saja.

Sabar tahu, Pur tidak mungkin lupa pulang, bahkan ia tahu anak tengahnya itu bukan sedang menghindar takut dari orang tuanya.

Melihat usianya yang baru menginjak 11 tahun, sudah seperti melihat anak perempuan berusia 17 tahun saja secara pikiran dan akalnya kalau soal keberanian.

Jadi di mana ia pergi?

Sabar benar-benar lelah fisik lelah hati memikirkan ke mana anaknya menghilang. Ia pikir ia bisa mencarinya sendiri. Tapi agaknya Sabar butuh bantuan dari orang lain. Tapi siapa yang bisa dimintai tolong di saat begini?

Langkahnya terus menyusuri jalan, celana yang sudah dicincingnya kali ini dibiarkannya basah. Tubuhnya mulai merasakan dingin karena ia lupa tak membawa sarung tadi. Kaos putih oblong yang bergambar partai di belakangnya tak cukup menghangatkan tubuhnya malam itu.

Meski dingin mencekam, ia terus melangkah. Dan saat Sabar berada di puncak kebingungannya, tak sengaja ia bertemu Mang Kardi di jalan.

"Mang Kardi, duh kebetulan Mang," kejar Sabar sejak melihatnya dari kejauhan.

"Pak Sabar. Habis dari mana Pak?" tanya Mang Kardi sambil membawa senter juga.

Sepertinya ia juga mau ke kali.

"Habis mencari Pur Pak."

"Loh. Belum pulang juga Si Pur?"

"Iya Pak. Saya bingung mau nyari ke mana lagi."

"Astaghfirullah Pak. Kenapa gak minta bantuan Pak RT atau Pak RW saja. Biar mereka bantu nyari juga," jawab Mang Kardi dengan terkejut mengetahui Pur belum pulang juga sampai jam 11 malam tiba.

"Saya nggak enak Mang. Orang-orang lagi pada kesusahan semua. Masa mau ditambah saya repotin."

"Dih. Jangan gitu Pak. Kita sama-sama cari, kita kan seduluran."

"Ya sudah, kalau Bapak memang tidak enak minta bantuan ke orang-orang, biar saya bantu cari saja yah?" lanjut Mang Kardi.

"Serius Mang?"

"Iya Pak."

"Ya Allah. Terimakasih Mang."

Mereka pun berpencar, membelah gelapnya jalanan satu sama lain dengan arah berlawanan.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang