Dalam heningnya suasana dusun di sudut desa yang ditempati oleh Sabar dan keluarganya, terdapat masalah yang begitu riuh berpendar mengelilingi isi kepala salah satu anaknya. Mun, usianya yang baru remaja namun sudah dituntut nasib untuk dewasa lebih cepat membuatnya selalu memikirkan apa yang seharusnya dipikirkan para orang tua. Sehari-harinya untuk bekerja, malamnya untuk memikirkan besok mau makan apa.
Sejak ia bekerja di rumah Pak Susin, kehidupannya sedikit berbeda. Mun harus bangun sebelum subuh dan berangkat setelah subuh. Lalu sampai di sana dia langsung masak, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya hingga sore. Terkadang ia pulang jam 5 sore, tak jarang pula maghrib baru sampai rumah. Sehingga hari-harinya pun tak banyak berbincang lama dengan bapak, mamak juga adiknya karena terlalu lelah. Namun Mun selalu menahan kantuk di matanya maksimal jam 9 atau sampai adik bungsunya tertidur.
Jika ia ingin berbincang dengan mamak atau bapaknya barang sebentar, sekarang itu momen yang jarang sekali dilakukan. Jika sebelumnya ia bebas mau mengobrol dengan bapaknya, sekarang ia hanya punya waktu yaitu di minggu malam karena keesokannya Mun libur bekerja, jadi punya waktu banyak untuk melek.
Kadang-kadang hari libur pun tetap dipanggil untuk bekerja. Jadi, yahhhh mengobrol dengan bapak atau mamaknya adalah salah satu hal yang langka untuk sekarang ini.
Padahal Mun tahu, kekuatannya semakin bertambah berkali-kali lipat kalau habis mengobrol dengan orang tuanya terutama dengan bapaknya. Dan yah, perbincangan yang diinginkan Mun pun terjadi secara nyata ketika suatu malam yang senyap menerpa rumah mereka.
"Gimana kerjamu? Betah?" tanya Sabar kepada anak sulungnya.
Mun hanya tersenyum lebar, tidak ingin menjawab. Hanya mau menikmati pertanyaan yang diutarakan oleh bapaknya.
"Ditanya kok malah senyum-senyum."
"Hehe betah kok Pak," jawab Mun sambil mendongak menatap ribuan bintang yang saling berkedip bergantian.
"Masa?" tanya Sabar tak percaya.
"Bapak nggak percaya?"
Sabar menggeleng sambil melayangkan pandangannya ke arah semak-semak yang gelap.
"Nggak percaya ya udah."
"Emang buktinya apa kalau kamu betah kerja di sana?"
"Emang bapak punya bukti nggak kalau aku nggak betah kerja di sana?" tanya balik Mun.
Sabar lantas melirik ke anaknya yang cepat sekali tumbuh dewasa itu. Rasanya baru kemarin dia rewel dan susah diatur, tetapi sekarang, setiap kata yang keluar dari mulutnya begitu berenergi. Entah kekuatan dari mana yang tidak disadarinya.
"Bapak itu tahu Pak Susin Mun. Memang secara kasat mata keluarga mereka baik, kalau bicara sama orang sopan, suka memberi. Tapi bapak tahu, baik Pak Susin atau istrinya, kalau melihat ada kesalahan atau hal yang tidak diinginkan olehnya, mereka tidak segan membentak bahkan menghina mereka yang berbuat salah. Tidak ada toleransi, salah langsung dihukum," ucap Sabar tanpa melirik ke arah Mun.
Sebaliknya, Mun justru menatap lekat pria yang rambutnya mulai tumbuh uban di sisi kanan dan kirinya itu.
Kini Sabar beralih menatap ke arah Mun.
"Kamu pernah dimarahi kan sama mereka?"
Sekali lagi Mun terenyuh akan apa yang diterka oleh bapaknya. Ia bisa tahu apa yang dirasakan bahkan dialami oleh Mun. Sabar begitu memahami apa saja yang anaknya telah lewati.
"Nggak pernah," jawab Mun singkat sambil menyentuh lehernya karena dingin yang menerpa.
Mun tahu jika sekarang dia berbohong, bapaknya akan langsung mengetahui kebohongannya itu. Tapi biarlah, biarkan saja dia berbohong daripada jujur namun membuat khawatir bapaknya.
Mun memang sempat berbuat salah di hari awal bekerja. Benar kata bapaknya, majikannya tak mau mentolerir sebuah kesalahan. Sempat saat Mun melakukan kesalahan, ia dibilang "kamu makannya apa sih? Susah banget diajarin!" Padahal Mun tidak susah belajar. Itu hanya sebuah kesalahan kecil yang tidak dia sengaja, saat hendak mencuci baju lewat mesin cuci. Mun sempat salah pencet hingga membuat mesinnya error. Dan begitulah Mun dimarahi.
"Cape nggak kerjanya?" tanya Sabar untuk ke sekian kalinya.
"Nggak."
Lagi-lagi Mun berbohong.
Di rumah Pak Susin begitu banyak pekerjaan. Rumah yang amat besar itu harus dibersihkan berulang kali hingga selalu dalam keadaan bersih. Belum lagi baju-baju Pak Susin, istrinya dan ketiga anaknya yang masih bocah. Dan beberapa ruangan yang tidak ditempati yang betapa berantakan dan tebal debunya.
Mun tidak pernah merasa selelah itu melakukan pekerjaan rumah. Jika dibandingkan dengan rumahnya yang hanya sepetak, jelas sangat jauh perbandingannya. Namun apalah dayanya. Tidak mungkin Mun mengeluh lelah pada bapaknya.
Terkadang seorang anak harus berbohong pada orang tuanya hanya karena tidak ingin mengkhawatirkannya.
Mun bukannya tidak mau cerita keluhannya selama beberapa hari bekerja di rumah Pak Susin. Tetapi ia ingin selalu terlihat bahagia di depan bapak dan mamaknya. Mun tidak ingin terlihat lemah di depan mereka, karena jika seorang anak menunjukkan kelemahannya di depan orang tua, ia tidak akan diberi kesempatan untuk pergi jauh dari desanya.
Sedangkan Mun memiliki mimpi baru. Mimpi yang mendadak terbesit dalam sanubarinya. Mimpi yang tercipta di tengah-tengah keadaan keluarga yang sedang down ekonominya. Mimpi yang membuatnya jauh lebih dewasa. Ia ingin mencari uang di luar sana, ia ingin melihat dunia seperti apa. Apakah seperti yang ada di desanya atau jauh berbeda? Ia ingin bertemu banyak orang. Ia ingin menemukan banyak hal dalam kehidupan ini. Kehidupan yang kata orang-orang begitu indah, begitu kejam dan sebagainya.
Mun ingin membalik stigma masyarakat di desanya bahwa tidak semua yang pergi di rantauan akan gagal di akhirnya. Jika mereka berpikir seperti itu terus, maka generasi ke depannya hanya akan menciptakan generasi yang penakut, yang tidak berani melangkah dan menemukan hal baru, mendapat suami yang satu desa, lalu memiliki mindset yang sama dan melahirkan anak dengan mindset yang sama pula seperti orang tuanya. Kemudian begitulah seterusnya.
Sekarang Mun bukan hanya ingin mencari uang untuk membantu bapak dan mamaknya. Tetapi Mun juga ingin menjadi contoh pertama bahwa merantau tidak semenakutkan dalam bayangan orang-orang. Bahwa merantau adalah salah satu jalan membuka nasib dan pikiran tentang kehidupan ini. Bahwa merantau adalah gerbang masuk setiap orang untuk menemukan versi terbaik dari dirinya.
"Aku boleh tanya nggak Pak?"
"Tanya apa?"
"Bapak pernah pergi jauh dari desa ini?"
Alis Sabar terangkat, mendengar pertanyaan dari anaknya itu.
"Pernah."
Sekarang giliran mata Mun yang terbuka lebar.
"Di mana?"
"Emang kenapa? Kok kamu tanya kayak gitu?"
"Mmm nggak apa-apa. Kata orang-orang kan hidup di rantauan itu kejam. Kalau kita nggak beruntung, pulang-pulang bisa edan. Atau dirampok sama orang jahat."
Sabar terkekeh mendengar alasan yang diucapkan anaknya.
"Dih. Kok bapak ketawa? Emang ada yang salah ya dari pertanyaan Mun?"
"Nasib tiap orang itu berbeda Mun. Dan tidak semua orang bisa diberi keberuntungan sama Gusti Allah."
"Biar Mun beruntung caranya gimana Pak?"
"Berbuat baik sebanyak mungkin. Nggak usah mikirin balesan. Selama kamu mampu berbuat baik di manapun kamu berada. Percaya sama bapak, kamu akan senantiasa dikelilingi malaikat-malaikat Allah berwujud manusia-manusia baik yang tanpa disengaja akan datang sendirinya membantu kamu saat kamu berada dalam kesusahan."
"Emang iya Pak?"
"Nggak percaya?"
Mun mengangkat kedua bahunya.
"Nggak percaya ya udah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
Ficção Geral[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...