Mendengar nasehat dari Bapaknya, Pur tidak serta merta langsung paham dan hilang begitu saja rasa benci pada ibunya. Jelas perasaan itu masih ada.
Mungkin kebencian itu masih berupa benih-benih, tapi bibit selalu bisa tumbuh semakin besar jika terus dipupuk. Dan cara Pur memupuk kebenciannya terhadap ibunya adalah dengan terus mengingat-ingat perlakuan ibunya yang suka membanding-bandingkan dirinya dengan kakaknya.
Di sisi lain, Mun yang fokus bekerja di warteg Cirebon itu suatu ketika merasakan gelagat aneh dari adiknya. Sudah berkali-kali Mun telfon ke rumah, ingin dengar suara Pur tapi Pur tidak pernah menerimanya. Pur tak ingin mengobrol dengannya.
"Apa Pur tidak rindu padaku?"
Kalimat itu masuk dalam pikirannya, apa Pur tidak merindukan Mun? Padahal Mun selalu memikirkan kenangan-kenangan bersama adiknya waktu kecil. Kebersamaan mereka begitu indah dan tak terhitung. Itu sebabnya ketika Mun pertama kali mau berangkat merantau, Pur nangis sampai ngosek-ngosek tak jelas.
Pur menangis histeris sambil merangkul kaki Mun. Mulutnya terus merapalkan kalimat, "Yayu jangan pergi, jangan pergi. Pur ikut, Pur ikut." sambil terus tersedu-sedu dengan isaknya.
Mun yang saat itu kebingungan harus berbuat apa, lantas dipaksa bapak dan ibunya untuk langsung pergi saja. Sungguh, Pur sampai harus dicengkeram lengannya oleh dua orang supaya tidak mengejar Mun.
Saat itu, ketika Mun berlari cepat meninggalkan keluarganya, dirinya juga menangis tersedu-sedu. Namun tetap ditahannya. Tiap kali seseorang yang mengantarnya berangkat menggunakan angkutan umum dari Brebes sampai ke Cirebon menggunakan mobil elf dan angkot, ia langsung menyeka air matanya dan berusaha sekuat mungkin untuk terlihat baik-baik saja.
Mun tidak lagi mendengar jerit tangis adiknya setelah ia sudah berjalan jauh sampai ke jalan raya, hingga menaiki elf menuju terminal Losari Brebes. Telinganya sedikit lega tak lagi menangkap tangis Pur. Sungguh, siapapun yang mendengar isakan Pur ketika itu, mereka juga akan sama tersayat nya seperti yang dirasakan Mun.
Air mata Mun memang sudah berhenti mana kala menatap pepohonan dari balik jendela mobil yang terbuka. Wajahnya pasrah dibelai angin, sawah-sawah mulai kelihatan sepanjang Mun memandang ketika beberapa menit melewati deretan toko-toko yang memanjang. Beberapa kali juga sempat melewati pasar. Meski begitu, meski ia sedikit teralihkan dengan membuang pandangan ke luar jendela, hatinya masih terasa begitu sesak. Belum apa-apa ia sudah ingin pulang, rindu pada semua orang.
Rindu yang dirasakannya bukan karena jarak mereka jauh. Tapi bahkan sebelum ia berangkat merantau, hatinya sudah rindu akan rumah dan semua keluarganya. Rindunya sudah bertengger bahkan sebelum ia pergi. Hingga sekarang tak ada satu hari pun yang pernah Mun lewati tanpa merindukan keluarganya. Tanpa memikirkan kenangan-kenangan dengan semuanya.
Bayangan-bayangan Bapaknya yang suka memakai sarung kotak-kotak dengan kaos dalam berwarna putih, suara Mamak yang suka mengomel sebelum ayam jago berkokok, ekspresi Pur yang cemberut kalau disuruh sesuatu tidak mau, juga rengekan Nur dan tawanya yang begitu lucu dan menggemaskan.
Mun selalu dibayangi wajah-wajah mereka, maka pantas saja jika setiap saat ia merindukan rumah. Namun melihat sikap adiknya yang tidak mau bicara dengannya, itu membuat hatinya terasa sakit. Padahal Mun hanya ingin bicara kurang dari 3 menit saja. Hanya ingin bertanya kabar dan mendengar Pur bercerita. Tetapi sayang, tiap kali Mun telfon ke rumah dan menanyakan Pur ke mana, ia selalu tidak ada. Sekalinya ada, Pur tak mau bicara, bahkan langsung kabur begitu saja takut dipaksa ngomong dengan Mun.
"Pur pergi lagi Mak?"
"Iya tuh. Tiap kali Pak RT nganterin HP ada kamu telfon, dia langsung pergi. Padahal sudah Mamak panggil-panggil," jelas Aminah kepada anak sulungnya.
"Bapak sih di mana Mak?"
"Bapak lagi selametan."
"Mau nungguin Bapak?" tanya Aminah.
"Nggak usah Mak. Nggak enak sama Pak RT. Takut HP nya mau dipake."
"Ya udah ya Mak. Mun tutup dulu telponnya."
"Iya Mun."
"Jaga kesehatan Mak."
"Kamu juga."
"Oh iya. Bilangin ke Pur, jangan main terus gitu Mak. Dia kan udah punya adek. Jangan kayak anak kecil terus."
"Sudah Mun, sudah berkali-kali Mamak omelin malah. Tetep aja bandel anak itu."
Mun pun akhirnya menutup obrolan mereka dengan salam.
Ketika tangannya baru saja selesai mencuci piring di belakang, bahkan tangannya masih basah oleh busa, Mun masih belum juga tenang karena belum bicara dengan Pur selama beberapa bulan terakhir.
Kurang dua bulan sebentar lagi ramadhan tiba, otomatis dia masih bekerja di warteg. Pulang paling h-berapa hari sebelum lebaran. Itu artinya di rumah akan repot. Biasanya, ramadhan kemarin Mun yang selalu masak-masak karena Nur masih berusia hitungan bulan, sekarang mungkin Nur sudah bisa berjalan. Tapi tetap saja, usianya adalah usia lagi rewel-rewelnya dan harus selalu didampingi. Maka Pur harus sadar bahwa posisinya di rumah adalah seorang kakak. Dia harus mengerti itu, Pur harus belajar segalanya dengan keadaan barunya.
Mun tahu, Pur tidak suka dibanding-bandingkan dengan dirinya. Mun pun tidak bermaksud agar Pur menjadi dirinya, tidak seperti itu.
"Ya Tuhan!" tangannya terdiam seketika.
Tiba-tiba saja Mun teringat sesuatu.
"Apa Pur marah padaku?" gumamnya dengan lirih.
"Apa dia tidak mau bicara denganku karena Mamak terus membandingkan Pur denganku? Ya Tuhan, jika itu benar, maka ini akan menjadi bahaya besar. Pur sangat tidak suka dibanding-bandingkan."
Mun tidak pernah mengalami dibanding-bandingkan dengan saudaranya. Paling Mamaknya hanya membanding-bandingkan dirinya dengan anak tetangga. Meski Mun bersikap biasa saja dan menerima, bukan berarti Mun tidak masalah dengan itu semua. Mun sakit, Mun tidak nyaman tiap kali ibunya membanding-bandingkan dirinya dengan teman-teman di luar sana. Katanya Mun kurang rajin lah, rejekinya jauh lah, suruh cepet cari uang lah. Itu semua membuatnya jengkel, tapi Mun berusaha tetap menahannya demi kebaikan bersama. Tapi nyatanya hal itu juga dialami oleh adiknya. Dan yang lebih menyakitkannya adalah pembanding nya adalah dirinya sendiri, kakaknya sendiri. Sungguh, ini bukanlah kabar yang baik.
Pur tidak seperti Mun yang jika mendapat perlakuan tidak baik, mendapat perlakuan yang tidak disukainya lantas diam saja. Pur tidak suka menahan seperti Mun dan bapaknya. Ia lebih memilih untuk langsung mengeluarkan unek-unek nya. Jika tidak dengan omongan, Pur akan meluapkan amarahnya dengan tindakan. Dan sejauh yang Mun kenal, Pur bisa nekat kalau amarahnya sudah diujung tanduk. Ia bisa melalukan apa saja, tidak peduli akan resikonya. Pur adalah bocah yang sama sekali tidak penakut dengan apapun. Entah mau jadi apa nanti besarnya.
Jika memang dugaan Mun benar, ia harus segera bicara dengan Mamaknya atau bilang secara personal kepada Bapaknya untuk menangani ini semua.
Mun tahu, bagi sebagian orang ini adalah hal remeh. Apalagi bagi kebiasaan masyarakat di desanya yang berprinsip, "sing uwis ya uwis". Mun tahu, ia pun demikian, tidak memikirkan lagi sesuatu yang sudah terjadi. Tapi prinsip itu tidak berlaku pada Pur. Sama sekali tidak. Pur bukan tipe orang yang menganut atau yang akan menganut prinsip itu. Tidak akan.
"Mun," panggil seseorang memecah lamunannya.
Tubuhnya berbalik, "Asri. Iya gimana Sri?"
"Bantuin di depan yuk. Banyak pelanggan yang pesen makan."
"Oke," tangannya diusap dengan lap kering dan segera menderapkan kakinya ke ruang depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...