Bab 11

14 5 0
                                    

"Hallo Mun, Mun. Hallo," ujar Sabar kepada anak sulungnya yang mungkin sekarang tingginya sudah melebihi dirinya.

"Iya Pak, Mun denger. Nggak usah teriak-teriak," seisi ruangan terkekeh melihat tingkah Sabar dan anaknya yang sedang mengobrol di telepon.

"Bapak, Mamak apa kabar?" tanya Mun di sudut ruang dapur.

"Alhamdulillah baik semua Mun, sehat semua," sahut Aminah dari samping Sabar. Di sisinya juga ada Pur yang sedang menggendong Nur kecil yang sudah mulai bisa berjalan.

"Bapak sama Mamak pake telpon siapa?" pasalnya di desa jarang ada yang punya HP.

"Pake telponnya Pak RT ini Mun."

"Ohhh. Bapak lain kali kalau mau nelpon Mun jangan jam-jam segini ya. Mun masih kerja soalnya."

"Iya Mun. Ini juga tadi ditawarin Pak RT. Nyari sempetnya Pak RT. Mumpung HP nya nganggur. Terus harusnya jam berapa Mun?"

"Setelah isya saja Pak. Kalau sore gini banyak pelanggan dateng karena habis pulang kerja soalnya."

"Oh iya iya Mun. Ya sudah kamu jaga diri baik-baik di situ yah. Semoga betah, diberi berkah melimpah."

"Aamiin."

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam,"disingkirkannya ponsel milik Mas Harjo dari telinganya.

Mendengar suara mamak dan bapaknya Mun mendadak melow, angin rindu seketika membelai relung hatinya. Pikirannya mendadak dibelai kenangan-kenangan masa lalu saat di desa.

Kenapa waktu begitu cepat beranjak, pikirnya. Rasanya baru kemarin Mun bermain gobak sodor dengan teman-temannya di pinggir kali. Kemudian sambil diguyur rintik hujan yang jatuh perlahan, tubuh yang basah lebih karena keringat itu berlari sambil tertawa mengejar layangan putus yang habis sangkutan. Teringat pula saat wajah penuh lumpur sungai yang dioles dari tangannya untuk menghindari panas yang menyengat wajah. Juga beberapa butir udang berukuran jempol kaki yang diburunya bersama Pur dan tiga teman lainnya. Atau teringat saat mengantar adiknya BAB di sungai yang kering, namun kakinya tergelincir jatuh sehingga badan Pur dipenuhi kotorannya sendiri. Juga sabetan dari mamaknya saat mereka pulang telat gara-gara asyik bermain. Dan suara teduh bapaknya tiap kali murojaah alquran di kala derasnya hujan badai.

Semua kenangan-kenangan itu saling bertabrakan, menerobos satu sama lain berusaha jadi ingatan terdepan di pikiran Mun.

Ah, sudahlah. Tidak baik terus membayangkan masa lalu, pikirnya.

Karena mengenang hanya akan membangkitkan keinginan-keinginan yang mustahil diwujudkan.

Dan itu sangat menyakitkan.

"Nih Mas. Makasih ya," ucap Mun sambil menyodorkan HP bermerk motorola itu. Lalu kembali melakukan pekerjaannya.

Mun sudah berada di Cirebon saat ditelpon oleh bapaknya. Dia sudah bekerja sebagai pelayan warteg milik Bu Haji Iroh selama hampir lima bulan yang lalu.

Beruntung, doa yang dipanjatkan Mun setiap malam agar Tuhan menghentikannya bekerja di rumah Pak Susin itu lekas terkabul. Di Cirebon, Mun jauh lebih tenang. Meskipun Bu Haji Iroh tidak selalu memantau pekerjaan para karyawannya di Cirebon karena masih mengurus sawah di desa, Bu Haji Iroh terbilang majikan yang perhatian dan penuh kasih sayang. Tak heran jika para karyawannya betah hingga bertahun-tahun lamanya bahkan sampai lintas generasi.

Terbukti ketika Mun bekerja di sana, ada 3 seniornya yang sudah lebih dulu kerja di situ. Bahkan satu di antaranya sudah ganti generasi. Maksudnya adalah ibu dari temannya itu dulu juga bekerja di situ. Dan sekarang giliran anaknya yang menggantikan.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang