Setelah kepulangannya yang pertama, Mun sangat memahami ketidaksiapan Pur untuk menjadi adik.
Berbagai macam usaha telah ia lakukan demi memahamkan adiknya yang susah di atur itu.
Banyak obrolan, perbincangan, juga diskusi bersama bapak dan ibunya agar mereka saling bekerja sama memahami satu sama lain.
Waktu seminggu nya di rumah benar-benar ia manfaatkan untuk bicara dengan semua orang secara empat mata.
Orang pertama yang ia temui adalah bapaknya. Tidak terlalu sulit memberi tahu bapaknya tentang masalah Pur. Sabar memang orang yang bijak dan tidak suka dengan perselisihan. Maka permintaan Mun tentu saja mudah dilakukannya.
Lalu, di lain waktu Mun pun bicara pada sang ibu. Ini yang agak susah. Menjelaskan sesuatu pada ibunya sama saja seperti memasukkan benda kotak ke dalam lingkaran yang kecil. Sangat susah. Bahkan tidak akan masuk. Tapi Mun terus berusaha menjelaskan pada sang ibu bahwa jangan terlalu banyak menyuruh Pur ke sana kemari. Selagi bisa dikerjakan sendiri. Mun minta agar dikerjakan sendiri dan ketika ia butuh bantuan, bicara dengan nada yang lembut. Ini demi kepentingan bersama. Karena Mun paham, Pur tidaklah seperti dirinya. Pur sangat tidak menyukai bentakan.
Mun bisa tahan dengan sesuatu yang tidak disenanginya. Sedangkan Pur tidak. Jika Mun memilih diam atas hal yang tidak sesuai dengan dirinya, maka Pur adalah sebaliknya. Ia akan memberontak dan melawan siapapun. Maka terhadap anak yang seperti itu, tidak boleh dikerasi secara berlebihan.
Meski sulit menjelaskan demikian, puji syukur Aminah bisa paham. Bahkan ia takjub dengan anak sulungnya itu. Darimana ia mendapatkan pemahaman seperti itu.
Mun hanya tersenyum, dan bergumam dalam hati jika pemahaman itu tidak lain berasal dari ayahnya.
"Tidak ada ayah sebaik bapak. Kebisuan nya mengabarkan banyak hal dan ketenangannya membawa ribuan kedamaian," gumamnya dalam hati.
Lalu orang terakhir yang Mun ajak ngobrol adalah tidak lain Pur sendiri.
Berbagai macam cerita sudah Mun jelaskan. Dari bagaimana dulu ia merawat Pur sampai hal-hal yang di luar batas kemampuannya. Meski tidak mudah, kali ini Pur pun mau diajak kompromi.
Semua orang sudah ia beritahu, kali ini tinggal waktu yang membuktikan. Apakah cara ini berhasil atau tidak. Meski terdengar klise dan sepele, namun menyampaikan perasaan kepada seluruh anggota keluarga adalah satu hal yang penting.
Selama ini masing-masing dari mereka hanya memendam diam dan sebal sendiri di dalam dada. Tidak ada yang berusaha memahami, hanya ingin dipahami saja. Maka jika orang lain ingin memahami kita, kita harus menjelaskan kepadanya apa yang kita mau dan tidak mau.
Ini sangat sederhana kedengarannya, tapi efeknya sangat besar dan terasa.
Hari berganti minggu, minggu beralih bulan, bulan berpindah tahun. Setiap tahun adalah tahun yang tidak mudah bagi keluarga Sabar dan Aminah, juga bagi Mun dan Pur. Kebutuhan ekonomi terus mendesaknya.
Di satu sisi mun terus berusaha lebih bersabar menghadapi usianya yang menginjak dewasa yang bisa dibilang sebagai tulang punggung keluarganya saat itu, juga Pur yang harus merelakan masa kanak-kanaknya agar lebih dewasa menjaga adik bungsunya itu.
Ini juga tidak mudah bagi Pur menjalaninya. Bayangkan ketika seorang anak sedang asyik-asyiknya menikmati masa kanak-kanaknya, tiba-tiba saja ia harus berganti peran, menjaga adiknya, melindungi, memahami dan serba mengalah dalam setiap hal.
Namun waktu demi waktu Pur menyadari dengan sendirinya bahwa inilah hidup. Bagaimana pun, ia pasti akan mengalami apa yang dirasakan oleh kakak nya Mun beberapa tahun ke belakang.
Sebagaimana adik bungsunya, Pur pun dulu sangat merepotkan kakaknya. Bahkan jauh lebih merepotkan daripada adiknya sendiri.
Hidup ini ternyata tentang menunggu gilirannya. Kita semua memiliki peran yang sama. Hanya waktu yang membedakannya.
Maka, meski dengan kesederhanaan yang mereka punya, masalah apapun akan menyatukan semuanya.
Kesederhanaan tidak pernah terlihat kuno. Justru kesederhanaan membuat sebuah keluarga terlihat mewah, mewah dengan kebesaran hatinya dalam hidup seadanya dan saling memaafkan serta peduli dengan sesama.
Setelah bertahun-tahun dan si bungsu pun mulai sekolah dasar, Mun sekarang tidak sendirian. Pur pun ikut kerja di tempat kakaknya.
Tentu saja Pur tidak bisa melanjutkan pendidikan. Sebenarnya Mun sudah memaksa agar Pur terus sekolah. Jangan seperti dirinya, tapi Pur tidak mau. Ia tidak ingin merepotkan bapak dan mamaknya. Sekarang fokusnya hanyalah pada adiknya. Ia rela tidak melanjutkan sekolah asal adiknya besok bisa sampai kuliah.
Mendengar niat tulus dari sang adik, Mun pun menitikkan air mata.
Entah kenapa, hubungan mereka selama Pur ikut bekerja bersamanya menjadi semakin lekat. Mereka semacam contoh kakak adik yang sangat sempurna dengan kesederhanaannya.
Mereka saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Semakin hari Pur juga semakin matang pemikirannya. Bahkan ia hampir mirip seperti Mun. Empati dan rasa sayangnya terhadap keluarga sama. Ia menjelma remaja yang sangat peduli dan peka. Hanya satu yang berbeda di antara keduanya. Yaitu cara mereka marah. Mun tetap menjadi gadis yang kalem dan tenang. Sedangkan Pur, ia tetap meledak-ledak saat marah. Tapi selama bersama kakaknya, Pur seperti bertemu dengan pawangnya saja. Ia tidak berani ngosek-ngosek seperti di rumahnya dulu. Entah tidak berani atau memang sudah tau malu.
Sedangkan Sabar dan Aminah, mereka tetap menjalani hidup, bekerja sehari-hari dan menjadi suami istri yang hangat dengan canda dan perdebatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...