Seorang wanita dengan pakaian rapi berjalan menuju sebuah ruangan dengan papan nama Jennaya Aurora, Team Leader. Sepanjang jalan, wanita berambut panjang itu mendapat sapaan semangat dari rekan kerjanya. Bunyi high heels yang ia kenakan membuat sebuah irama yang sesuai dengan langkah percaya dirinya. Begitu tiba di meja kerja, ia meletakkan tas di gantungan yang berada dekat jendela, kemudian ia menarik kursi dan duduk di sana. Wajahnya begitu cerah dan ceria. Ia bersenandung sambil menyalakan komputer yang ada di depannya. Sebuah ketukan di pintu membuat senandungnya terhenti.
"Silakan masuk." Jenna menjawab dengan nada ramah dan penuh semangat.
"Wah, Ibu kelihatan bahagia banget. Ibu Jenna mau dibuatkan kopi?" Seorang karyawan yang mengenakan seragam hitam putih menyapa dengan sopan.
Jenna meletakkan jarinya di dagu, kemudian menimbang-nimbang sejenak. "Boleh, deh. Kayak biasa, ya."
"Siap, Bu. Satu gelas kopi pakai gula yang banyak." Karyawan itu mencatat pesanan di buku kecil.
Jenna tersenyum hingga mata bulatnya berubah menjadi garis lurus, kemudian ia mengacungkan jempol. Tidak lama setelahnya, karyawan tersebut kembali masuk dengan sebuah nampan yang berisi segelas kopi.
"Ibu nggak jadi ngambil cuti? Katanya kemarin mau cuti untuk siap-siap tunangan besok." Karyawan itu berdiri sambil memeluk nampan setelah meletakkan kopi milik Jenna.
"Nggak jadi ngambil cuti sehari. Pagi ini saya ada rapat. Nanti setelah makan siang, saya cuti. Nggak usah khawatir, hari ini kopinya cukup satu gelas aja."
"Siap, Bu. Saya permisi." Karyawan tersebut memberi hormat ala militer, gerakannya yang berlebihan selalu mampu membuat Jenna tertawa.
Jenna memang mudah dekat dengan orang lain karena kepribadiannya yang ceria. Tidak hanya rekan kerja, bahkan tukang parkir di seberang gedung pun mengenalnya.
Setelah selesai menghadiri rapat hingga tengah hari, Jenna langsung menuju area parkir. Beberapa rekannya sudah bersorak dan memberi selamat untuk pertunangan yang akan dilaksanakan esok hari. Ketika tiba di tempat parkir, Jenna langsung menghubungi sebuah nomor yang sudah memiliki janji dengannya. Wanita berambut terikat itu memasuki mobil sambil menunggu jawaban dari nomor yang ditelepon. Namun, panggilan tersebut tidak dijawab. Jenna meletakkan tasnya di kursi penumpang dan kembali menelpon nomor tersebut. Panggilan keduanya juga tak kunjung diangkat. Jenna mulai menggigit ujung jarinya. Matanya mulai bergetar. Namun, senyum kembali menghiasi wajahnya begitu telepon diangkat.
"Halo, Sayang." Suara berat yang keluar dari telepon mampu membuat Jenna tersenyum lebar.
"Kamu nggak lupa kalau kita harus cek dekorasi hari ini, 'kan?" Jenna bertanya dengan antusias.
"Oh, sorry. Aku ada rapat yang nggak bisa ditinggalin. Maaf ya, kamu jadi harus urus semuanya."
Jenna menghela napas dan senyumnya menghilang seluruhnya. "Oke. Nggak apa-apa. Lagian ini tinggal finishing aja. Fitting nanti sore bisa, 'kan?" Jawaban dari teleponnya tidak kunjung terdengar. "Halo."
"Oh, sorry. Untuk fitting-nya nanti kamu sendiri, bisa ya? Aku udah minta jasnya di kirim ke rumah. Kamu udah lihat minggu lalu, jasnya pasti pas. Sorry, ya."
Jenna jadi cemberut. Ia kembali menghela napas. "Oke. Nggak apa-apa. Nanti kalau ada yang nggak sesuai aku hubungi kamu."
"Oke, thanks. Enjoy, ya. Love you."
"Love you too." Jenna menutup panggilannya dan meletakkan ponselnya di dasbor.
"Nggak apa-apa, Jenna. Jangan drama. Manja banget harus ditemenin." Jenna berbicara pada dirinya sendiri sambil menepuk puncak kepalanya. Ia merasa harus bersikap dewasa untuk menghadapi masalah kecil seperti ini.
***
Sebuah koper yang digeret pria berpakaian serba hitam itu mampu menarik perhatian orang di sekelilingnya. Koper oranye terang terlihat kontras karena pakaian dan rambutnya yang hitam. Pria bertubuh tinggi itu merogoh saku dan mengambil ponselnya. Sambil menunggu jawaban di telepon, ia membuat kopernya menjadi kursi dadakan.
Pria berambut lebat itu menyibak rambut ketika seorang pramugari melewatinya. Tidak lupa ia menurunkan kacamata hitamnya hanya untuk berkedip. Tingkah menggodanya ditambah dengan wajah tampan perpaduan Jepang dan Indonesia membuat pramugari itu salah tingkah. Senyuman pria itu langsung menghilang ketika sebuah tas menghantam punggungnya.
"Yujin Azkadinata. Siapa yang ajarin begitu?" Seorang wanita paruh baya berdiri di samping pria yang masih mengenakan kacamata itu.
"Bukan begitu caranya menyambut anak kesayangan." Yujin membuka tangannya dan langsung menarik wanita itu ke dalam pelukan.
Satu pukulan kembali menghantam lengan Yujin. "Berapa kali Mami bilang, jangan main-main sama perempuan!"
Yujin kembali memeluk wanita itu untuk meredakan amarahnya. Sejak kecil, Yujin tahu kalau adik dari ibunya sangat mudah luluh dengan pelukannya. Yujin sudah terbiasa memanggil tantenya dengan sebutan Mami karena secara teknis wanita itu adalah ibunya. Sejak berusia tujuh tahun, ia dibesarkan oleh keluarga tantenya.
"Oke, nggak boleh main-main. Kalau cuma main boleh, dong?" Yujin kembali menggoda Mami.
"Yujin!"
Pria bermata sipit itu tertawa. "Kak Gia nggak ikut menyambut, Mi?" Yujin mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Gia ada di mobil. Males banget katanya mau ketemu sama kamu." Mami menggandeng Yujin menuju pintu keluar.
"Idih, nggak berterima kasih banget adeknya pulang." Yujin bersungut-sungut karena kakaknya tidak menyambut.
Begitu tiba di tempat parkir, Yujin langsung menangkap kunci mobil yang dilemparkan Gia padanya. Gadis itu masih sama seperti tahun lalu, celana training dengan kaus oblong serta rambut yang digulung. Penampilannya kelewat santai jika dibandingkan dengan Mami yang mengenakan dress yang dibalut kardigan.
"Gue baru sampe, bukannya bilang 'selamat datang adikku'. Malah nyuruh gue nyetir."
"Ngapain lo ke sini kalau nggak buat kerja? Percuma gelar magister lo, nggak pernah kepake." Gia melihat Yujin dengan tatapan merendahkan. Gerakan matanya yang melihat Yujin dari atas ke bawah ditutup dengan seringai mengejek berhasil membuat Yujin kesal.
Merasa kalah telak, Yujin akhirnya meminta bantuan. "Mami."
"Ya, apa kata kakak kamu benar. Gia udah punya usaha sendiri. Dia nggak berminat juga untuk nerusin perusahaan kita. Ya, memang kamu ke sini buat kerja, 'kan? Udah cukup kaburnya. Sekarang saatnya pulang."
"Kita lihat aja berapa lama dia bertahan di sini. Terakhir kali, dia cuma sanggup bertahan satu bulan. Si tukang ngeluh kalau Indonesia panas. Gue sumpahin lo kena karma." Gia tertawa dan masuk ke mobil dengan cepat.
Yujin menatap Mami dan meminta pertolongan, tetapi yang ia dapatkan hanya tepukan di bahu. "Mami juga berharap kamu akan stay di Indonesia."
Aloha!
Selamat ketemuan sama Jenna dan Yujin. Semoga suka yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
CTRL + Z ✓ (TERBIT)
RomanceAda satu kejadian yang membuat Jenna dihantui rasa bersalah sehingga wanita berusia 27 tahun itu selalu mengikuti kencan buta yang diatur oleh orang tuanya. Namun, satu kencan buta membawanya bertemu dengan Yujin, sahabat lamanya yang tiba-tiba meng...