6. CTRL + F

124 32 52
                                    

Jenna tidak mampu menahan air matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jenna tidak mampu menahan air matanya. Kini ia duduk sendirian di balkon kamarnya. Wanita yang sudah mengenakan baju tidur itu masih menelepon nomor yang sama. Meski nomor tersebut tidak aktif, sebelum tidur, Jenna masih selalu melakukan panggilan ke nomor itu selama tiga bulan terakhir.

Ada sesuatu yang janggal tentang keluarga Saka. Setelah satu minggu, keluarga Saka tidak kelihatan khawatir. Bahkan setelah tiga bulan, orang tua Saka selalu menjawab pertanyaan Jenna dengan tenang. Mereka mengatakan kalau Saka pasti punya pilihannya sendiri. Namun, Jenna tetap tidak diberikan kontak Saka.

Jenna masih sering menangis ketika mengingat semuanya. Ia ditinggalkan sendiri tanpa ada penjelasan. Hal itu yang membuat Jenna masih berusaha menghubungi Saka. Sebuah ketukan membuat Jenna segera menghapus air matanya. Ia berusaha untuk tersenyum. Ia tahu, kesedihannya bisa membuat orang tuanya sakit hati.

"Iya, masuk."

"Malam, Sayang." Bunda membuka pintu dengan gerakan halus.

Jenna cukup heran melihat Bunda dan Ayah datang bersamaan. 

"Ada yang harus Ayah bicarakan." 

Satu alis Jenna terangkat. "Tentang apa, Yah? Kok, kelihatannya serius."

Ayah dan Bunda duduk di kiri dan kanan Jenna. Bunda menggenggam tangan anak semata wayangnya. Hal ini membuat Jenna tambah heran.

"Ayah cuma mau menyampaikan sesuatu. Kamu nggak punya kewajiban untuk menerima, tapi Ayah harap kamu mau." 

Jenna memandang orang tuanya bergantian. Ia berusaha mencari petunjuk, ke mana arah pembicaraan mereka.

"Teman Ayah punya anak yang single, kami sudah ngobrol banyak, kelihatannya anaknya tertarik sama kamu. Jadi, kalau kamu mau, Ayah sama Bunda nggak maksa, tapi kalau kamu mau, besok kalian ketemu di tempat yang sudah ditentukan."

Jenna terperangah sejenak.

"Ayah sama Bunda bukan mau jodohin kamu." Bunda segera meluruskan pikiran Jenna. 

Ayah menjentikkan jari. "Istilahnya, kencan buta. Jadi, kalian kenalan aja. Kalau nggak cocok, ya bisa berteman. Ayah beneran nggak maksa, ini kalau kamu mau." 

Jenna menatap mata Ayah dan Bunda yang penuh harap. Ia tahu, Ayah dan Bunda pasti sudah mempertimbangkan hal ini sejak lama. Akhirnya, Jenna mengangguk dan tersenyum lebar.

Bunda mengeratkan genggamannya. "Kamu yakin, Sayang? Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa." 

"Aku yakin, Bunda. Kayaknya aku memang butuh teman baru. Gia lagi sibuk-sibuknya, 'kan?"

Ayah dan Bunda bertukar tatap. Mereka mengembuskan napas lega dan tersenyum lebih lebar dari biasanya. 

"Nanti Ayah kirimin alamatnya." Ayah memeluk Jenna singkat. 

"Aku nggak perlu pakai dresscode?"

Bunda langsung menyahut. "Pakai baju putih aja, anak Bunda selalu cantik pakai baju putih." 

CTRL + Z ✓ (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang