23. CTRL + ESC

84 29 61
                                    

Rumah Yujin dan Jenna kembali sunyi setelah Caca memutuskan untuk pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah Yujin dan Jenna kembali sunyi setelah Caca memutuskan untuk pulang. Hingga wanita itu pulang, Jenna tetap bertahan, berdiri di depan Yujin dan tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh suaminya meski sedetik.

“Sebagai ucapan terima kasih, gue bakal masakin sesuatu.” Yujin berjalan mendahului Jenna, setelah memastikan kalau pintu depan sudah terkunci.

“Tumben banget, kesambet apa lo?” Jenna melayangkan protes, tetapi langkahnya tetap mengikuti Yujin.

Yujin tersenyum, walau ia tahu kalau Jenna tidak bisa melihatnya. Kini, pria yang mengenakan kaus hitam itu tengah berkutat di depan kompor. Ia sibuk membalik irisan daging yang ada di atas pemanggang. Sesekali ia memeriksa sayuran yang tengah direbus.

Jenna bertopang dagu. Ia membalikan layar ponselnya dan kini fokus menatap Yujin yang tengah memasak untuknya. Namun, fokusnya tiba-tiba teralih ketika Yujin menyodorkan kacang polong dan jagung yang sudah direbus ke hadapan Jenna.

“Tolong, susun di piring.”

Ajaibnya, Jenna langsung menurut. Ia memindahkan sayur tersebut ke dua piring. Begitu wanita bermata besar itu selesai menata sayuran, Yujin langsung meletakkan sepotong daging yang sudah selesai dipanggang.

“Wah.” Jenna berseru kagum. Wanita berambut terikat itu sampai bertepuk tangan heboh. Gerakannya sudah mirip seperti penonton bayaran.

"Biasa aja. Kayaknya, lo udah terpesona, sih, sama gue." Yujin menyeringai. Kemudian, ia menarik kursi yang ada di samping Jenna.

Diam-diam Yujin memperhatikan ekspresi Jenna ketika mengunyah hasil masakannya.

"Enak banget." Senyum Jenna mengembang, lalu ia mengacungkan jempol.

Yujin tersenyum bangga. “Syukur, deh, kalau lo suka.”

"Lo biasa masak sendiri?" Jenna bertanya setelah menyelesaikan satu potong daging.

"Di Jepang, gue tinggal sendiri. Jadi, gue udah biasa untuk urus diri gue sendiri."

Jenna mengangguk, tetapi matanya yang mengerjap tanpa mengalihkan perhatian dari Yujin, tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Pria yang baru selesai menuangkan minum itu tersenyum. "Lo pasti mau tanya, kenapa gue tinggal sendiri?"

Jenna melongo, tetapi ia langsung mengangguk setelahnya.

"Tadinya, gue pindah ke Jepang buat ikut ayah kandung gue, tapi setelah sampai di sana, semua nggak seindah yang gue bayangin. Oh, ya, lo tahu, 'kan? Gue sama Gia itu saudara sepupu dari ibu yang kembar. Makanya gue nempel banget sama Mami. Walau muka Mami sama Mama sama, tapi mereka beda banget. Mami, tuh, kalem. Kalo Mama, malah mirip Gia. Tipe cewek tomboi yang tahu maunya apa."

Jenna mendengarkan tanpa menjeda. Ia mengabaikan separuh daging yang masih tersaji di depannya. Kini fokusnya hanya tertuju pada Yujin.

Merasa didengarkan, Yujin melanjutkan ceritanya. "Mami gue meninggal waktu gue masih tujuh tahun. Papa langsung pulang ke Jepang, seminggu setelah Mama pergi. Gue lebih milih tinggal di rumah Mami, supaya bisa nengokin makam Mama setiap gue pengen."

"Kalau gue tanya sesuatu, lo keberatan nggak?" Jenna bertanya hati-hati. Kini, ia bisa mengerti kenapa Yujin sangat sensitif pada foto keluarga.

"Tanya aja." Yujin menjawab santai.

"Tadi pagi, lo dari makam Mama?"

Yujin menghentikan gerakan tangannya yang memotong daging. Ia menoleh pelan, lalu mengangguk.

Jelas, Yujin tidak menduga pertanyaan seperti itu. Saat sedang berada di Indonesia, setiap hari Minggu, Yujin pasti menyempatkan diri untuk mengunjungi Mama. Pagi ini ia pergi ke sana dengan pakaian olahraga, agar Jenna tidak banyak bertanya. Namun, wanita itu malah menyimpulkan kalimat Yujin dengan cepat.

"Gue nggak nyangka kalau lo punya sisi manis begini. Terima kasih sudah jadi anak yang perhatian." Jenna tersenyum penuh haru.

"Kan, gue bilang juga apa? Lo pasti udah terpesona sama gue." Yujin menyeringai sebelum melanjutkan kegiatan makannya.

Jenna menghela napas dan memukul lengan Yujin setelahnya. "Baru aja gue terharu. Lo ngerusak suasana banget tahu, nggak?"

"Yang ngerusak suasana, tuh, Carissa, bukan gue."

"Suka banget nyalahin orang, ya?"

"Ngomong-ngomong soal Carissa, lo kenal dia?"

Jenna mengamati perubahan ekpresi Yujin. Namun, ia berusaha mengabaikan pertanyaan yang ada di kepalanya. "Dia temen sekantor gue, kami cukup akrab karena dia temenan sama Gia."

"Berapa lama lo kenal dia?"

"Tiga tahun kayaknya." Jenna melanjutkan kegiatan makannya.

"Jangan terlalu dekat sama dia."

Jenna menoleh. Ia sedikit terkejut dengan kata-kata Yujin. "Kenapa? Dia baik dan teman dekat Gia juga."

"Gue kenal dia juga dari Gia. Dia sempat stay di Jepang buat sekolah. Gia tahu kalau kami pacaran, tapi dia nggak tahu apa yang udah dilakuin Carissa ke gue."

"Berapa lama?"

Yujin menjawab secepat kilat. "Dua tahun."

"Gue tanya, berapa lama waktu lo buat move on?" Jenna kembali menopang dagu.

Yujin mengerutkan dahi. Ia menatap Jenna yang kelihatan sedang memikirkan sesuatu. "Gue nggak tahu. Gue nggak pernah tahu, tepatnya berapa lama. Yang jelas, semua yang sudah kami lalui, masih gue ingat, tapi dengan rasa yang berbeda."

Jenna diam. Seolah tengah mencerna kata-kata Yujin.

Pria berkaus hitam itu tertawa tiba-tiba. Hal itu menarik Jenna keluar dari lamunannya.

"Gila, gue keren banget. Kira-kira, udah bisa jadi pujangga, belom?"

Biasanya, Jenna akan berdecak atau memukul Yujin kalau pria itu bercanda di waktu yang tidak tepat, tetapi kini ia malah tertawa melihat Yujin dengan segala rasa percaya dirinya.

"Jangan sering ketawa gitu, kalau gue suka, gimana?" Yujin bertanya dengan mata yang terkunci pada Jenna.

Tawa Jenna terhenti, ia menatap Yujin. Kalimat itu sama seperti sepuluh tahun lalu. Jenna merasa waktu berhenti sejenak. Namun, sebuah getaran dari ponsel membuatnya buang muka.

"Ada telpon dari Mina." Jenna sempat melihat layar ponsel Yujin karena letaknya yang dekat dengan posisi Jenna. Ia juga melihat dengan jelas kalau kontak tersebut disimpan dengan emoji hati di akhir nama.

Yujin segera mengangkat telepon tersebut dan bergerak menjauh. Jenna masih bisa mendengar tawa pria itu.

"Lo berharap apa dari seorang buaya?" Jenna menertawakan dirinya sendiri.

"Lo berharap apa dari seorang buaya?" Jenna menertawakan dirinya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aloha!

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

CTRL + Z ✓ (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang