Selama dua bulan membina rumah tangga, baru kali ini Jenna merasa sangat kesal hingga ia mengalami sakit kepala. Kini, kepala wanita itu terasa berat disertai denyut yang menyakitkan. Jenna menghala napas panjang. Wanita berambut panjang itu mengacak rambutnya dengan kasar. Ia tahu, kalau Yujin memang menyebalkan, tetapi ia tidak bisa mengerti mengapa pria menyebalkan itu mengenalkan kekasihnya pada Jenna yang notabenenya adalah istrinya.
Jenna masih memijit pelipis ketika pintu ruangannya diketuk. Ia menjawab ketukan tersebut dengan suara keras.
"Selamat pagi, Bu." Seorang karyawan yang mengenakan seragam hitam putih dengan buku kecil di tangan muncul dengan senyum semringah. Namun, langkahnya agak ragu.
Jenna tidak mengangkat kepalanya. Jangankan senyuman, kini separuh wajahnya sudah tertutup oleh rambut.
Melihat penampilan bosnya yang berantakan, karyawan tersebut mengerutkan dahi. "Bu Jenna, mau saya belikan sesuatu? Atau lagi butuh cokelat?"
Pramukantor tersebut memang sudah dekat dengan Jenna bahkan sejak hari pertama kedatangan Jenna di kantor itu.
"Terima kasih, tapi saya nggak butuh cokelat. Saya butuh kopi. Nggak usah pakai gula." Jenna kembali mengacak rambut.
Karyawan tersebut maju selangkah, lalu berbisik. "Bu, kalau lagi bad mood itu, mending makan yang manis. Jangan makan yang pahit-pahit. Lagian, Ibu, kan, nggak suka minum kopi pahit."
Jika dalam kondisi biasa, Jenna akan menyambut saran tersebut dengan senyuman lebar, tetapi kini darah wanita itu tengah mendidih karena mengingat kelakuan suaminya. “Saya bilang, kopi nggak pakai gula. Satu.”
Selama tiga tahun Jenna bekerja di sana, sebuah bentakan tidak pernah keluar dari mulut wanita itu.
"Baik, Bu." Karyawan tersebut menjawab dengan suara pelan dan tidak diikuti gerakan hormat ala militer.
"Bu Jenna, kenapa?" Tyas menghampiri pramukantor yang kelihatan lesu setelah keluar dari ruangan Jenna.
"Kayaknya lagi nggak mood, Mbak. Kayak kerasukan reog." Karyawan tersebut menunjuk tangannya. "Tuh, saya sampe merinding."
"Oh, nanti kopinya saya aja yang anter ke dalam. Daripada Mas Dani kena amuk."
Wajah pramukantor itu langsung berseri-seri. "Terima kasih, Mbak. Saya buatkan dulu kopinya, sebentar."
Kurang dari lima menit, pintu Jenna sudah kembali diketuk. Wanita berambut berantakan itu langsung menyibak rambutnya, begitu menyadari kalau Tyas yang mengantarkan kopinya.
"Maaf, Bu. Apa saya boleh tanya masalah pribadi?" Tyas bertanya dengan senyuman di wajahnya.
Jenna terdiam. Kalimat itu adalah kalimat yang selalu ia ucapkan ketika ingin membahas hal di luar pekerjaan dengan Tyas.
"Ibu, berantem sama suami? Suara bentakan Ibu kedengeran sampai keluar, lho. Mas Dani yang dekat banget sama Ibu aja sampai takut mau masuk ke ruangan ini lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
CTRL + Z ✓ (TERBIT)
RomansaAda satu kejadian yang membuat Jenna dihantui rasa bersalah sehingga wanita berusia 27 tahun itu selalu mengikuti kencan buta yang diatur oleh orang tuanya. Namun, satu kencan buta membawanya bertemu dengan Yujin, sahabat lamanya yang tiba-tiba meng...