22- Tak Ada Sosok Ayah (a)

137 50 7
                                    

Chapter ini agak sedikit kotor. Bukan 'kotor' itu loh, tapi tempatnya kotor beneran.

[°°°]

Alia menjejakkan kakinya di atas lumpur. Gadis itu mendengkus, lalu dengan perlahan kembali mengambil langkahnya. Tangannya bergerak menyeka dedaunan lebat yang entah sejak kapan menghalangi jalannya dan Reid.

Reid mengeluarkan pisaunya, laki-laki itu memotong batang-batang dedaunan yang cukup tebal. Lebar dedaunan itu juga mampu menutupi wajah mereka, membuat Reid jengkel.

Hidung Alia mengempis,  dia menciun bau tak enak. Gadis itu mengangkat satu kakinya untuk melihat keadaan alas kakinya.

"Mana mungkin ada tahi kucing di sini." Alia menepuk jidatnya. Jiwa-jiwa manusia normal miliknya mulai muncul lagi. Dahulu, jika dia berjalan di pasir lembab atau kering, ada saja gumpalan kotoran yang akan terinjak oleh Alia.

'Apa kita bisa menemukan jalan kembali? Rasanya semakin tersesat saja,' batin Alia gelisah.

"Aku mencium bau tak nyaman," ucap Reid mengendus-endus. Tangannya masih berusaha memotong dedaunan yang tumbuh subur.

Alia menepuk tangannya setuju. "Aku kira hanya diriku yang menciumnya! Ternyata kau juga."

Reid mengendus kembali. "Namun sepertinya aku tahu ini bau apa."

Alia mengangkat alisnya. "Hah?"

"Aku pernah mencium bau yang sedikit sama. Kupikir ini hewan dengan jenis yang sama," kata Reid berdehem. "Salah satu dari kita pasti menginjaknya."

Reid memandang Alia yang masih membuka mulutnya karena tidak mengerti. Laki-laki itu memutar bola matanya dan berkata, "Ini bau kotoran monyet."

"Tahi monyet?" ulang Alia tidak habis pikir. "Monyet sebesar itu mengeluarkan kotoran?!"

Alia mual. "Ugh. Aku sudah kenyang Reid."

Mereka terus berjalan, sedangkan Alia berusaha berhati-hati menginjak tanah lembab yang mereka pijak. Alia seumur hidup tidak pernah melihat kotoran monyet. Sungguh, gadis itu bahkan baru ingat jika monyet juga makhluk hidup.

"Tapi Reid, kenapa di sini banyak kotoran monyet?" tanya gadis itu. Alia dan Reid kemudian berhenti melangkah. Mereka saling memandang, dan baru mengerti setelah beberapa saat.

"JANGAN BILANG KITA MASUK ZONA MEREKA?!" Alia menaikkan oktaf suaranya, sambil terus menahan agar tidak terlalu kencang.

"Ah, sialan." Reid dengan cepat menarik tangan Alia untuk berbelok arah. "Benar. Seharusnya kita cepat pergi dari sini sebelum hal menyeramkan lainnya datang."

"Jaga suara jantungmu, Alia. Mereka bisa saja merasakan kehadiran kita," ucap Reid. "Mereka seperti monster."

Alia menarik napas, berusaha mengingat kejadian yang membuatnya bahagia. Dia harus cepat menyembunyikan suara jantungnya yang sangat merasa terancam. "Aku tahu. Mereka pasti berbeda dari binatang umumnya."

nghik...

Alia menahan tangan Reid. Mereka berdua menajamkan telinga untuk memastikan keadaan sekitar mereka aman.

"Ada suara lain napas lain di sebelah kiri sana," kata Reid. "Salah satu dari mereka sedang berada di sini."

'Itu sebabnya tempat ini lebat dengan tumbuhan. Kotoran mereka menjadi penyubur.' Alia kembali bergidik geli. Mengingat ia sedang menginjak tanah di mana tempat para monyet membuang sampah--biji tumbuhan dan kotoran--membuat gadis itu mual.

Reid menarik napas perlahan. Bahkan untuk mengambil oksigen saja, mereka seperti menyeludup narkoba.

"Alia, tolong lakukan semuanya dengan hati-hati. Seperti yang kau katakan, mereka berbeda dari binatang pada umumnya. Sebab itulah kita tidak tahu apakah mereka dapat mendengar dengan baik atau tidak."

Become A Red Onion StepsisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang