Bukan kisah ketua geng motor dengan gadis cantik, bukan kisah ketua OSIS yang memiliki banyak penggemar, bukan pula kisah most wanted yang menjadi rebutan. Ini adalah kisah dua orang manusia biasa yang sedikit rumit karena kemustahilan yang ada.
Man...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Makan yang banyak, Dim, biasanya juga lo rakus," ucap Nadine sembari menyodorkan semangkuk bakso yang belum tersentuh oleh pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Dima yang sok-sok an mogok makan karena masalah orang tuanya.
"Nggak, Dine, gue nggak bakal mau makan kalo bokap sama nyokap gue nggak baikan," ucapnya serius.
"Jangan gitu lah, Dim, lo harus makan,"
Nadine sudah menyerah membujuk sahabatnya itu. Dima memang keras kepala dan apapun kemauannya harus di kabulkan. Entah sesuatu yang besar atau hal kecil sekalipun.
"Yaudah, gue makan sendiri aja," Nadine kembali fokus dengan makanannya, mengabaikan Dima yang masih berada dalam mode merajuk.
Di tengah kegiatannya, tatapan gadis itu jatuh pada segerombolan orang di sudut koridor. Dari tempatnya duduk saat ini ia bisa tahu jika ada Fathur di sana. Jaket abu yang ia kenakan pagi tadi terlihat mencolok dari tempat tersebut.
"Eh, itu kok rame-rame, sih?" tanyanya sembari menyenggol lengan Dima, membuat sang empu mendelik sebal.
"Apaan sih?"
"Itu, lihat tuh," Nadine mengarahkan telunjuknya pada kerumunan itu.
Dima mengerutkan kening, mencoba melihat dengan seksama. "Oh, itu mah Kak Fathur lagi promosi ekstrakulikulernya,"
"Ekskul vokal, ya?"
"Bener banget, lo mau ikut?"
Nadine menggeleng cepat, untuk apa juga ia mengikuti ekskul itu. Apalagi ada Fathur yang mungkin setiap hari akan bertemu. Tidak terlalu baik untuk kesehatan jantungnya.
Ya, Nadine memang mengagumi sosok itu. Ia berhasil memenuhi otaknya beberapa hari terakhir ini. Walau bagaimana pun ia harus menyimpan baik-baik perasaannya, agar kata kecewa tidak menghampirinya di kemudian hari.
"Lo aja, Dim, lo kan jago nyanyi," desak Nadine.
"Nggah ah, males ikut ekstra apapun. Nggak wajib juga, kan?"
"Emang lo nggak ada minat ke apa gitu?"
"Pengen ikut beladiri, sih,"
Nadine mendelik. "Wih, udah mau jadi mbak pendekar aja ini mah, haha,"
"Ngawur lo,"
"Udah, yuk ke kelas, bentar lagi bel,"
Ucapan Dima menjadi penutup perbincangan mereka. Keduanya bangkit menuju kelas sementara kerumunan itu masih di tempat. Semakin ramai dan penuh sesak. Sepertinya banyak yang berminat pada ekstrakulikuler vokal.
Tanpa sengaja tatapan Nadine mengarah pada laki-laki yang tengah sibuk memegang selembaran itu. Detik berikutnya orang di sana mendongak juga balas menatapnya. Tersenyum tipis sebelum melanjutkan kegiatannya kembali.
Perasaan Nadine seketika menghangat, ada sebuah desiran yang membuatnya berteriak dalam hati. Rasa itu sangat bertahan lama, hingga ia sampai di kelas senyum di bibirnya belum juga memudar.