18. Life Cycle

88 61 1
                                    

Pagi ini Nadine dan ibunya mendapat kabar bahagia, ayah Nadine sudah berhasil melewati masa komanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi ini Nadine dan ibunya mendapat kabar bahagia, ayah Nadine sudah berhasil melewati masa komanya. Saat ini keadaannya sudah mulai stabil dan keduanya dapat tersenyum cerah sekarang.

Semalaman penuh mereka tidak bisa tidur, tatapannya hanya tertuju pada sosok pahlawan keluarga itu. Heru yang terbaring lemah dengan alat-alat medis yang menempel di seluruh tubuhnya. Nadine miris melihat ayahnya dengan kondisi seperti itu.

Saat ini waktu jenguk sudah di perbolehkan, namun masih harus mematuhi prosedur rumah sakit agar kesehatan pasien tetap aman.

Dengan pakaian kunjungan seperti jubah lengkap dengan penutup kepala keduanya masuk ruangan itu. Pandangan Nadine tertuju pada alat-alat medis yang sangat asing di penglihatannya.

Sebuah monitor di samping kanan ayahnya dengan layar yang menyala dan entah apa fungsi benda itu, belum lagi alat yang menutupi mulut serta hidung ayahnya. Sangat memprihatinkan jika di lihat dengan seksama.

Kedua mata Heru masih setia terpejam, kondisinya memang sudah stabil namun, kesadarannya masih belum pulih.

Herlina terisak sembari mendekat ke arah ranjang suaminya, Nadine di sampingnya merangkul bahu Herlina berusaha menguatkan orang yang ia sayangi itu.

"Bunda, ayah pasti kuat," Nadine berusaha mati-matian untuk tidak mengeluarkan air mata namun, kenyataannya tidak sesuai keinginan. Air mata itu tetap merembes mendesak keluar tanpa di minta.

"Bunda jangan sedih, ayah baik-baik aja," ucap Nadine dengan suara bergetar. Dadanya kembali sesak sekarang.

Herlina mengangguk lemas lalu menundukkan tubuh mendekat ke suaminya. "Ayah, kamu apa kabar di sana? Udah lama kita nggak ngobrol," ucap Herlina masih berusaha menahan air mata yang lagi-lagi memaksa untuk keluar.

Nadine tidak kuasa mendengar itu semua, hatinya bergetar hebat saat menyaksikan dua orang yang ia cintai begitu terpuruk.

Gadis itu mengusap lembut bahu ibunya, Herlina masih sesenggukan. Dengan perlahan wanita itu menggenggam erat telapak tangan dingin milik suaminya. Hatinya sangat perih namun ia mencoba untuk tetap kuat.

Sore itu menjadi hari yang tidak diinginkan oleh Nadine. Jujur saja, ia benci keadaan ini namun apa boleh buat. Semua garis takdir tertulis rapi di buku besar-Nya.

Menghembuskan napas seraya menyakinkan hati bahwa semua pasti akan baik-baik saja.

Nadine ikut menunduk menggenggam kedua tangan yang saling bertaut itu. "Ayah, kapan ayah bangun?" tanya Nadine pelan.

"Ayah, kapan ayah anterin Nadine lagi, Nadine kangen berangkat sekolah sama ayah, Nadine kangen semua-...

Gadis itu tidak mampu melanjutkan kalimatnya, ia sudah terisak dengan napas yang tidak beraturan.

Herlina juga tidak jauh berbeda, air matanya masih terus mengalir.

Kedua orang itu sedang berada di titik terendah, sosok yang paling mereka banggakan sekarang terbaring lemah dengan alat bantu di seluruh tubuhnya. Rasa yang menyesakkan itu membuat keduanya benar-benar merasa terpuruk.

Diorama Nadine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang