Bukan kisah ketua geng motor dengan gadis cantik, bukan kisah ketua OSIS yang memiliki banyak penggemar, bukan pula kisah most wanted yang menjadi rebutan. Ini adalah kisah dua orang manusia biasa yang sedikit rumit karena kemustahilan yang ada.
Man...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi ini suasana hati seorang Nadine Amanda kembali membaik. Setelah berusaha menyakinkan hati untuk bangkit, ia merasa lebih lega sekarang. Akhir pekan seperti ini biasanya akan ia habiskan bermain bersama Dima namun tidak untuk saat ini. Gadis itu memilih untuk tetap di rumah membantu ibunya yang tengah menyiapkan bekal untuk sang ayah.
"Tumben ayah bawa bekal, Bun?"
"Iya, Dine, sengaja bunda bawain bekal, soalnya keadaan ayah kamu masih belum pulih beneran. Bunda takut ayah kamu sakit lagi," jelas Herlina.
Nadine mengangguk mengerti. "Iya sih, Bun, pola makan ayah harus dijaga biar tetap sehat,"
"Itu, kaki kamu gimana?" tanya Herlina.
"Udah nggak apa-apa, Bun, orang cuma lecet dikit,"
"Tapi tetep aja, Dine, takutnya infeksi atau gimana kan bahaya,"
"Iya, Bun, udah aku obatin lagi kok tadi,"
"Yaudah kalo gitu, nih bawa keluar, kasih ke ayah," Nadine mengambil alih kotak bekal itu dan menentengnya ke luar rumah. Di sana sudah ada Heru yang tengah menyiapkan motornya.
"Ayah yakin mau kerja lagi?
Laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu mengembangkan senyum. "Yakin lah, Dine, ayah udah nggak apa-apa,"
"Yaudah kalo gitu, ayah hati-hati, ya. Ini jangan lupa dimakan," ucap Nadine seraya menyodorkan kotak bekal pada ayahnya.
"Iya, sayang, pasti ayah makan kok. Udah siang ayah berangkat dulu, ya." Heru mulai menghidupkan mesin motornya sesaat setelah Nadine mencium punggung sang ayah.
"Bilang sama bunda, ya, ayah berangkat,"
Nadine mengangguk. "Iya, ayah."
Tak lama Heru menjalankan motornya meninggalkan pelataran rumah. Bersiap menjemput rezeki hari ini.
Nadine menatap kepergian ayahnya dengan tatapan sendu. Ia mengerti bagaimana jerih payah orang tuanya untuk membesarkannya hingga saat ini. Ia patut bersyukur telah ada dan tumbuh dalam keluarga sederhana dan penuh kebahagiaan ini.
Tanpa sadar air matanya menetes begitu saja, ia tahu siapa dirinya dan bagaimana keadaannya. Pikiran gadis itu sibuk berkelana memikirkan bagaimana nasib hidupnya di masa depan nanti.
Satu tahun lagi ia sudah mengakhiri masa putih abunya. Setelah itu ia tidak tahu akan ke mana lagi, uang yang ia kumpulkan dari dulu sudah tidak tersisa. Nadine tidak menyalahkan siapa-siapa, ia hanya sedikit lelah dengan alur hidupnya.