Nadine menguap setelah mencoba membuka mata yang masih sedikit lengket itu, ia menatap jam di atas meja. Masih jam setengah lima pagi dan suara ayam berkokok saling bersahutan membuatnya tidak bisa terpejam lagi.Akhirnya ia memilih bangun dan bersiap ke sekolah. Kemarin ibu dan ayahnya meminta Nadine pulang lebih dulu, mengingat keadaan Heru yang sudah mulai membaik. Herlina rasa Nadine sudah bisa bersekolah dan biarkan dia yang menjaga suaminya di sana.
Semua karena doa juga kerja keras semua pihak atas kesembuhan ayah Nadine. Keadaannya berangsur-angsur membaik dan Heru juga sudah berbicara dengan lancar. Respon yang di berikan saat berbicara juga sudah cukup baik.
Nadine sudah siap berangkat sekolah, ia keluar kamar tidak mendapati siapapun pagi ini. Suasana rumah sangatlah sepi, ia mengunci pintu kamarnya dan hanya suara itu yang mengeluarkan bunyi.
Suara ibunya yang ketika memasak, ayahnya yang sedang menyiapkan motor pagi ini tidak ia dengar. Biasanya ibunya akan memaksa Nadine untuk makan pagi serta menyiapkan bekal untuknya.
Tanpa terasa air matanya luruh lagi, ia kembali terisak ketika memori itu teringat. Namun yang ia tahu sekarang, ayahnya sudah baik-baik saja. Ia sangat bersyukur akan hal itu.
Keluar rumah dan berjalan ke depan kompleks untuk menemukan angkot di sana. Seperti biasa, kendaraan berwarna merah itu menjadi temannya saat ini.
Nadine mengalihkan pandangan ke luar jendela, hujan turun di pagi hari. Menyejukkan siapapun yang merasakannya.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ada nama Bayu Pramana di sana.
"Nadine, kapan ke sini lagi? Maaf pagi-pagi udah ganggu," ucapnya.
Nadine menggigit bibir, ia bingung untuk mengatakan apa lagi.
"Maaf banget, Kak, belum bisa ke sana lagi. Ayah lagi sakit, mungkin minggu depan Nadine ke sana,"
"Ayah kamu sakit apa, Dine, kok nggak ngabarin anak-anak?"
"Nggak apa-apa kok, Kak. Udah sembuh juga sekarang, besok juga udah boleh pulang," jelasnya.
"Yaudah nggak apa-apa, kalo ada apa-apa kabarin kita. Jadi kita tahu keadaan lo,"
"Iya, Kak, sekali lagi maaf, belum bisa bantu-bantu,"
"Iya, santai aja,"
"Salamin buat anak-anak, Kak,"
"Iya, nanti gue sampaiin,"
Sambungan terputus tepat dengan angkot itu yang berhenti di depan gerbang sekolahnya.
Nadine berjalan masuk masih dengan ponsel di tangannya. Tatapannya tidak sengaja ke arah pesan, ada satu pesan yang belum terbaca juga beberapa panggilan yang tidak terangkat.
Nomor yang sama namun masih asing dan belum tercatat di buku teleponnya.
Na, lagi sibuk, nggak?
Bisa temenin ke toko buku, nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama Nadine [END]
Teen FictionBukan kisah ketua geng motor dengan gadis cantik, bukan kisah ketua OSIS yang memiliki banyak penggemar, bukan pula kisah most wanted yang menjadi rebutan. Ini adalah kisah dua orang manusia biasa yang sedikit rumit karena kemustahilan yang ada. Man...