Hari ke tiga belas di bulan Oktober, rintik hujan turun membasahi bumi pagi ini. Khususnya rumah sakit Permata, hujan yang menyejukkan bagi sebagian orang di sana.Alana memaksa perawat untuk mengantarnya keluar, dengan alasan ingin mencari udara segar dan menikmati suasana hujan. Tentu saja perawat itu tidak mengindahkan permintaan Alana namun, karena Alana yang terus merengek akhirnya perawat itu menyerah.
Dengan bantuan kursi roda Alana dapat keluar dari ruangan serba putih itu. Saat ini ia bisa melihat banyak orang berlalu lalang dengan air muka yang bermacam-macam. Tidak mengherankan memang, karena tempat ini adalah tempat kesedihan di mulai.
Alana tiba-tiba tersadar, bahwa ia tidak sendiri. Semua orang menerima ujiannya masing-masing. Ada cobaan yang Tuhan berikan sesuai dengan kemampuan makhluk-Nya. Itu semua pasti dan jelas akan terjadi.
Suara derak gesekan antara roda dan lantai begitu nyaring. Di depannya ada seseorang yang tubuhnya penuh dengan darah baru saja melewatinya.
Gadis itu memejamkan mata beberapa detik, jantungnya berdetak kencang. Detik berikutnya suara tangis terdengar memilukan, Alana kembali menutup wajahnya. Sepertinya memaksa keluar memang tidak terlalu baik untuknya.
"Non nggak apa-apa?" tanya perawat itu khawatir.
Alana menggeleng, ia yakin dia baik-baik saja. Ia harus belajar lebih kuat dari sekarang.
"Saya nggak apa-apa, Sus,"
Perawat itu menghela napas lega mendengar hal itu.
"Antar saya ke taman ya, Sus,"
"Baiklah, tapi saya ambil jaket dulu, ya, di taman dingin, Non,"
Alana mengangguk dan perawat itu langsung melangkah pergi.
Ia melempar pandang pada area koridor yang ramai, lalu lalang orang masih padat apalagi hari masih pagi. Semua orang beraktivitas setiap pagi. Tatapannya jatuh pada papan mading di dinding seberang.
Ia mendorong kursinya sendiri, ada sebuah gambar yang menarik perhatiannya. Ia penasaran dan melihatnya. Ternyata sebuah poster kesehatan. Alana mengerucutkan bibir, ia kira ada infornasi atau hal lain yang cukup menarik untuk ia ketahui.
Alana kembali mendorong kursinya namun bukannya maju malah mundur dan ternyata menuruni jalan turun.
"Awas, Kak!" pekik seorang gadis sembari mencoba meraih gagang kursi itu, dan berhasil. Alana seketika berhenti dengan gadis yang memegang gagang kursi itu di belakangnya. Tubuhnya bergetar hebat saat ini.
Jantung keduanya sama-sama ingin melompat keluar, kejadian yang nyaris membuat nyawa di ambang kematian.
Nadine menghela napas. "Kakak nggak apa-apa?" tanyanya beralih ke depan Alana dan berjongkok di sana. Ia menyentuh telapak tangan Alana yang dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama Nadine [END]
Teen FictionBukan kisah ketua geng motor dengan gadis cantik, bukan kisah ketua OSIS yang memiliki banyak penggemar, bukan pula kisah most wanted yang menjadi rebutan. Ini adalah kisah dua orang manusia biasa yang sedikit rumit karena kemustahilan yang ada. Man...