Alat-alat camping Rein lumayan lengkap. Mulai dari sekadar kompor portabel biasa ukuran 10x10x7 sentimeter kubik sampai torch gas yang sering dipakai membuat crème brûlée (lebih sering lagi dialihfungsikan sebagai pengering pakaian) ada di dalam kontainer yang ditunjukkannya.
Aku bersiul mengamati tempat makanan di tanganku. Berupa mangkuk yang bisa dipipihkan kalau kosong. Menghabiskan sedikit tempat di carrier. "Keren." Kuletakkan lagi di tumpukan perlengkapan camping. "Kita bagi tugas. Kamu selesaikan saja ini, aku belanja perbekalan. Pisahkan saja barang yang mesti kubawa. Masing-masing dari kita bawa botol air dua liter dan beras sendiri." Aku pergi ke kamar yang akan kutempati selama di sini, berada di seberang kamar Rein.
"Kamu mau belanja perbekalan sekarang?"
"Yups." Kulempar carrier dan jaket ke kasur, lalu keluar lagi. "Tadi kulihat ada toserba di dekat bundaran depan. Ada titipan?"
Melalui pintu kamarnya, kulihat Rein mengangguk. "Ajak Kei, ya. Dia pasti bakal tanya-tanya. Siapa tahu aku malah keceplosan. Kamu bisa langsung jawab kalau dia tanya ke kamu."
***
Keira. Adik perempuan Rein. Selisih tiga-menjelang-empat tahun denganku. Usianya sekarang sama dengan usiaku saat pindah dari sini ke Tanjung Pinang, saat aku meninggalkan Rein dan keluarganya yang sudah berfungsi layaknya keluarga keduaku.
Penampilannya sekilas mirip anak laki-laki, dengan bahu tegap, juga rambut yang sedikit lebih panjang dari batas antara tengkorak dan tulang lehernya, membuatnya mirip Lila dari trilogi Shades of Magic.
"Naik sepeda atau jalan kaki, Kak Riv?"
"Jalan kaki saja."
Keira hanya mengangguk, mulai berjalan, membiarkanku ikut dari belakang. Baru berjalan sebentar, angin bertiup pelan, membuatku nyaris menggigil. Padahal anginnya masih sempat dihalangi deretan rumah.
Empat tahun kelihatannnya more than enough untuk membuatku perlu pembiasaan lagi dengan udara di sini. Gengsi dong kalau bilang dingin. Keira cuma pakai baju kaus lengan pendek, celana selutut, plus sandal jepit, dan jalannya santai seolah sedang berjalan di pantai.
Setelah kami keluar dari pos satpam, Keira melambat, berjalan di sebelahku. "Kakak bakal berapa lama di sini?"
"Kenapa?"
"Lebaran di sini, enggak?" Ia memberiku cengiran lebar.
"Nope. Aku pulang sebelum bulan Ramadan."
"Cuma dua minggu dong! Sebentar banget, Kak." Keira menyemburkan napas kesal. "Kapan-kapan ke sini pas bulan puasa, Kak. Biar aku ada teman main layangan pas ngabuburit."
Aku malah tertawa. Membayangkan anak-anak yang mengejar layangan sampai tersandung langkah temannya sendiri, terjerembab ke selokan penuh air kotor, atau terpeleset di lumpur. Dan Keira ada di antara mereka. "Kamu main di mana?"
"Enggak jauh lah, cuma di ujung kompleks kok. Biasanya pilih salah satu antara Cipagalo atau Mengger, enggak dua-duanya. Ngapain ujung ke ujung? Kami kan mau memantau layangan buat dikejar." Keira menunjuk ke arah kiri belakang sewaktu kami menyusuri lapangan. "Di seberang jembatan sana, ada bagian perluasan kompleks. Enggak selesai sampai sekarang. Kalau sore, suka ada anak-anak main layangan di sana. Bangunannya juga enggak tinggi amat, cocok lah buat memperhatikan layangan mana yang bakalan putus."
"Padahal kan bagus kalau aku enggak di sini sewaktu bulan Ramadan. Kamu enggak perlu tergoda lihat aku makan setelah main panas-panasan." Aku enggak sejahat itu sih. "Bisa lebih fokus ibadahnya juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...