"Ini magrib! Kenapa kamu enggak datang dari sore?"
Di depan pintu, Deni menggaruk-garuk kepala saja. Berulang-ulang. Mirip GIF di internet. "Terima kasih, River. Maafin aku."
Dia kira aku mengharapkan terima kasih dan maaf? Lagi pula, thanks for what?
"Come in. Aku sedang melakukan percobaan." Kubiarkan pintu terbuka. Deni lebih tahu cara menggunakan kakinya sendiri. "Tahu laksamana mengamuk?"
"Kue?" Akhirnya Deni ikut masuk.
"Hmm, tahu bacang? Itu sebutan Melayu. Barangkali kamu lebih familier dengan penyebutan Jawa-nya: kuweni. Laksamana mengamuk adalah makanan berbahan dasar buah itu." Aku mengambil baskom di kulkas. Isinya berwarna kuning terang, cuma mangga biasa yang dilumat-lumat, terendam oleh putihnya santan. Ada butiran gula pasir yang masih utuh di beberapa titik. "Semacam laksamana mengamuk. I did too much improve. Bukan musim kuweni, dan banyak bahan yang malas kucari. Aku pakai apa yang ada saja. Yang penting bisa dimakan. Give it a try."
Deni menyendok sedikit dari baskom ke dalam salah satu mangkuk dari rak piring. Dia hanya memandanginya lama.
"Hei," aku memanggilnya lagi, berharap dia belum terlalu melanglang buana, "sudah azan magrib. Kupikir kalian seharusnya menyegerakan berbuka."
"Sori ...." Deni tercengir kaku.
"Bentuknya menggelikan, ya? I know." Aku mulai makan bagianku. Not bad. Lama aku mengunyah, dan rasanya perlahan tawar. Tapi bukan karena rasa makanannya. "Fine. Aku enggak bisa pura-pura jadi fool selamanya, Den. Aku tahu kamu masih memikirkan soal kabur kemarin dan kemungkinan yang bisa kamu lakukan."
"Umi bilang apa padamu?"
"Nothing." Kududukkan tubuh di atas meja dapur. "Memangnya ibumu bilang apa padamu? Soal ... rencana gila di DM-mu, mungkin?"
"Itu rahasia kita berdua."
"Akhirnya kamu tetap masuk ke sana, ya?"
Dia mengangguk. Mulai makan. "Aku baru tahu kamu bisa memasak." Tiba-tiba dia menangis. "Maaf. Ini enak, serius. Aku menangis bukan karena makananmu."
"Menangislah. Sesekali kita butuh itu." Aku melanjutkan makan. Kupandangi mangkuk di tangan. Setengah penuh. Berantakan. Tapi enak. Aku mengangkat wajah. Deni sedang menunduk.
"Aku enggak semarah itu lagi masuk pesantren, River. Ini cuma air mata sisa kemarin ..."
"Deni, look. Jalani saja dulu. Ada banyak hal indah yang mungkin terjadi. Kamu pasti bertanya kenapa harus kamu yang dilimpahi semua hal menyebalkan. Tapi kamu akan melihat bahwa ada banyak hal indah yang bisa ditemui."
"Kamu punya sahabatmu. Perempuan yang waktu itu ...."
"Yeah." Aku tersenyum. "Aku punya Rein. Kamu boleh punya aku. Aku enggak keberatan punya adik laki-laki. Toh dua adik perempuan dan kakak laki-laki enggak seburuk katanya."
"Kakak laki-laki? Kakak yang waktu itu?" Deni berhenti makan. Berhenti menangis.
"Kamu takut dengannya, ya?"
"Habisnya dari cara dia ngelihat aku, jelas banget dia tahu aku sedang kabur. Aku takut dia ceramahin aku ...."
Telingaku enggak mendengarkan Deni lagi. Yang kudengar adalah perkataan Kak Delon tempo hari. Kabur udah jadi bagian hidupku sampai aku hafal yang mana kabur, jalan-jalan, dan diusir. Senyumku mengembang. Taktik gila dari orang gila. Hmm, looks like a miracle.
"Aku percaya dia orang baik, Deni."
"Kenapa?"
"Ada buku yang pernah kubaca. Salah satu kutipan di sana: Some things are better damaged. Aku percaya Kak Delon termasuk ke dalamnya. Kamu juga. You're damaged too. But that's what makes you special." Aku tercengir. "Dua kalimat terakhir juga kutipan dari buku tadi. Bukan buatan kepalaku."
Deni tersenyum di antara air matanya. "Aku bakal kangen makanan entah apa ini."
"Kapan kamu berangkat?"
"Setelah lebaran."
"Kubuatin lagi nanti saat lebaran. Perpisahan. Mau?"
Dia hanya tertawa. Tawa yang seolah menandakan kelegaannya dan kenyataan kalau dia siap pulang. Selisih setengah jam dengan gelaknya, dia pamit.
Begitu menutup pintu luar, nama pertama yang kucari di daftar kontak adalah Kak Delon. Panggilan langsung tersambung. "Kakak merencanakan itu untuk Deni."
"Pilihannya adalah terpaksa terima perintah dan mengabaikan aku atau dianggap mati. Orang sepertinya bakal milih yang pertama."
"Kakak enggak menyangkal."
"Kenapa harus? Aku mengaku kok. Aku mengiriminya DM yang menyuruhnya menulis wasiat. Kaget aja kamu perlu waktu dua minggu buat nebak aku."
Pintu kamar kubanting seraya masuk. Suaranya bergema di rumah kosong. "Why'd you do that?"
"Karena dia harus tahu, Riv, bahwa menerima perintah ibunya bukan yang paling parah. Ada yang terburuk dari yang terburuk. Waktu terbaik manusia belajar dan berkembang adalah ketika ada keterpaksaan."
Aku membanting diri di kasur. "You're sick." Tiba-tiba saja aku merasa ingin tertawa. Kadang terbesit olehku cara gila semacam itu. Kak Delon yang berhasil menyuarakannya. "What the hell are you doing?"
"Mencegah adanya bocah sepertiku lagi, yaitu temanmu. Sekalian ngajarin kamu kalau setiap target harus menggunakan cara yang beda-beda walau skenarionya sama. Temanmu itu penakut, kamu tahu."
"Kakak punya masalah yang lebih parah dari Deni," begitu kesimpulanku. Tapi Kak Delon sedikit more kind, in an evil way.
"Ini waktu yang tepat buat berubah pikiran dan mundur, Rivai. Kalau kamu mau pergi, merasa pura-pura enggak kenal denganku, ya sok aja."
"Nah, nah." Aku beringsut ke jendela, membiarkan udara malam masuk ke kamar. Jadi begini rasanya melihat orang yang mirip dengan dirimu sendiri, tapi dari dimensi super dark side. "Aku sudah janji. Janji yang tidak ditepati itu beban."
"Soal jadi adik?"
"Yup. Dan aku siap jadi home."
"Bohong."
Home issue. Dia punya perang dengan home yang lain. Aku jadi ingin menolongnya. Dengan cara yang lebih lembut daripada caranya menolong Deni.
"Serius, aku enggak keberatan jadi home bagi Kakak. Aku bakal tetap jadi aku. Tapi selesaikan masalah Kakak dulu. Dengan rumahmu yang lain. Kakak punya perang dengan mereka, sudah jelas. Kobarkan perang itu sekaligus, selesaikan sampai tamat. Kita sama. Kakak juga punya banyak home, aku tahu. Masalahnya, ada home yang bermasalah dan Kakak enggak tahu cara memperbaikinya, kan?"
"Kamu bisa membantu?"
"Bisa kucoba."
---
-----
-------
Hai! Author di sini.
Welcome to the end of the story. Buat yang sebelumnya baca tanpa epilognya, maaf epilognya telaaat banget. Dari open ending tentang apa yang mungkin terjadi pada Deni, aku berubah pikiran. Denias pantas mendapatkan kepastian. :)
Sebagai tambahan, barangkali ada yang mau tahu perasaan River yang sesungguhnya atas "perginya" Denias, kuselipkan kisahnya ke dalam bagian terakhir seri ini, dengan judul HiStory, di akunku juga. Terima kasih.
Sekali lagi, thank you buat yang mau baca sejauh ini. :D
P. S. Buku yang dimaksud River di epilog ini adalah "Jakarta Sebelum Pagi" karya Ziggy Z (aku enggak menulis nama belakang Ziggy dengan lengkap, no offense).
---------
~Sabtu, 18 Juni 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Novela JuvenilTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...