Pukul sepuluh malam, bus bergerak menuju simpang Kiaracondong, tapi daerah Cibiru masih ramai. Lampu-lampu kendaraan di mana-mana, sementara bayangan menelan kendaraan yang menjadi sumber cahayanya.
Rein duduk di sebelahku, terjaga. Barangkali karena sebentar lagi kami akan sampai di Terminal Leuwi Panjang yang cuma berjarak tiga sampai empat kilometer dengan rumah Rein.
"Rein," panggilku sambil berbisik, membuatnya memandangku. Meski kegelapan kurang total di antara kami, mata Rein hanya berupa benda gelap yang punya setitik sinar. "Terima kasih banyak. I owe you everything."
"Kamu enggak berutang apa-apa, Riv. Ini hadiah ulang tahun terbaik."
Aku tertawa kecil. "Looking for a run-away kid?"
"Bukan bagian itu yang paling hebat. Backpackering sama kamunya, maksudku."
"Walau aku menyembunyikan banyak hal darimu?"
Dia mendengkus. "Memangnya kamu mau bilang semuanya kalau aku bilang merasa terganggu sama rahasiamu yang bejibun itu?"
"I've tried. Aku mau kamu tahu apa yang ada di pikiranku. Tapi rasanya salah." Aku memandang ke arah jendela di ujung lorong bus. Ada beberapa simpang lagi .... Sebanyak itu waktuku. "Ada bagian dari diriku yang takut membiarkanmu tahu. Takut kamu malah kenapa-kenapa karenanya. I'm sorry. I just want to protect you and keep you save."
Banyak yang berubah. Dulu, Rein tidak paham dengan trilingual (atau cuma bilingual, kalau dengan Rein?) yang keluar dari mulutku, jadi dia hanya cekikikan meski matanya memancarkan kebingungan. Dulu juga, aku bisa dengan mudah iseng mencium pipinya, membuat dia mengomel dan suasana kembali normal.
Tapi ini bukan dulu. Satu-satunya yang tidak berubah adalah betapa banyak rahasiaku dan betapa kuat Rein menghadapi rahasia-rahasia itu.
Kak Delon benar. Aku tidak bisa membuat Rein terluka oleh ketidaktahuannya. Aku harus mencoba memberitahunya. Pelan-pelan.
Pasti itu yang diinginkan Rein, yang sekarang memeluk carrier-nya erat-erat.
Jangan sampai aku berbuat kesalahan lagi dan tidak sempat meminta maaf dengan benar.
“Kalau kamu emang bawaannya gitu, aku enggak nyalahin siapa-siapa, Riv. Enggak minta kamu berubah juga.”
Oh. Ya. Rein selalu berhasil membuatku merasa campur aduk. Bersalah dan bangga. Aku ingin memeluknya karena itu.
Akhirnya, aku cuma mengelus punggung tangan Rein, berujung menggenggamnya erat-erat. Tangan Rein kecil ketimbang tanganku. Terasa kasar untuk tangan seorang perempuan. Beda dengan tangan Mama atau Bunda yang pernah kusalami.
Rein adalah pedang yang biasa ditempa. Tapi aku tidak ingin jadi orang yang menempa dia. Biarkan orang lain menempanya, sementara aku menjadi sarung pedang tempat dia istirahat dan menjadi dirinya sendiri.
Sebagai orang yang memilih siapa yang pantas untuk dipercaya, jelas aku tahu rasanya sendirian.
Ketika tidak ada yang paham dirimu walau hanya secuil. Tidak peduli seberapa banyak yang kamu katakan, pada siapa pun itu, kenyataannya kamu tidak pernah dipahami.
Ketika kamu merasa keberadaanmu adalah sesuatu yang salah, misplaced, tapi di sisi lain kamu pun tidak tahu harus pergi ke mana supaya tepat.
Ketika kamu hanya bisa mengulang-ulang pada dirimu, "Kamu adalah malaikat yang tersesat di tubuh manusia. Bahasa dan gerak tubuh malaikat berbeda dengan manusia. That's why tidak ada yang paham dirimu, bahkan untuk one eternity later. Sekarang ataupun selamanya, you're lonely."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...