Deni datang akhirnya. Tersengal. Seperti orang yang habis dikejar. Kenyataannya, dia yang sedang mengejar kami.
Dia enggak bawa apa-apa. Hanya bawa diri. Kaburnya benar-benar tanpa persiapan.
Kubungkam mulutnya sebelum dia menjelaskan apa-apa. Tidak ada yang perlu dijelaskan di depan Kak Delon, yang sibuk menggoda Rein untuk menunjukkan deretan giginya (I'm so sorry, Rein, tapi dia tumpangan gratis kita). Aku hanya menyuruh Deni ikut aku dan Rein tanpa bertanya. Deni, dengan tampang bingung, basah oleh keringat, dan perut yang berkeruyuk, hanya manggut-manggut. Interogasi untuknya hanya di-delay, bukan dibatalkan.
Good things came. Karena suara perut Deni, Kak Delon ingat dia juga belum makan. Dia mengajak kami berjalan ke salah satu jalan yang lebih kecil; ada warung soto Boyolali langganannya di sana. Yeah, gagal makan di Boyolali, makan di Klaten pun jadi lah.
Dengan tenangnya dia bilang, "Enggak apa kalau ditinggal kawanku. Artinya mereka nekat-nekatan baca Google Maps cuma buat ketemu Los Mbako dan para umbul. Mana risiko nyasarnya gede, lagi. Nis, kawanku yang paling jarang molor, enggak bisa baca peta, mau itu peta kertas atau digital. Kepalaku kan peta mereka."
Peta yang bisa merasakan lapar dan makan soto, tentunya.
Soto Boyolali kelihatannya dimakan dengan "teman" semacam sate jeroan, sudah tersedia di meja sejak awal. Rein yang duduk di sebelahku menatap lauk itu dengan tatapan kecut dan enggak nyaman. Seperti saat dia memandang lumpia Semarang. Kak Delon, antara memang enggak sadar atau pura-pura enggak peka, malah mendorong piring sate itu ke arah Rein.
"Dipake ininya lho."
Rein menggeleng. Gara-gara diganggu Kak Delon, dia jadi menghindari membuka mulut terlalu sering.
And, thanks to Deni karena bertanya takut-takut padaku, "Se-sebetulnya kakak ini siapa?" sambil menunjuk Kak Delon yang duduk di sebelahnya. Kak Delon akhirnya sibuk memperkenalkan diri, berhenti menawari Rein. Inti perkenalannya pada Deni dan Rein begini:
NAMA: Delon Narandi K. (atau Narandika? Until now, aku enggak tahu cara menulis nama belakangnya dengan benar. Tiap kutanya, jawabannya berubah. Kadang "Naran Dika", kadang "Naran D. K.")
PEKERJAAN: Mahasiswa yang happy enggak ketulungan karena bisa nebeng absen doang untuk dua matkul hari ini. Merangkap sebagai tour guide wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Bela-belain bolos kuliah demi nge-guide. (Katanya, kuliah enggak bikin aku dapet duit, mending nge-guide. Udah dibayar, diongkosin jalan-jalan pula.)
STATUS: Jomlo Bahagia. (Menurutnya, jomlo itu nasib, single itu prinsip. Berhubung dia harus terima NASIB diputusin pacar terakhirnya karena 'terlalu bersemangat', dia turun pangkat jadi jomlo).
PENGUMUMAN: "Dicari! Cewek mandiri yang enggak heboh ga jelas. Yang gagah berani lebih baik. Yang punya gingsul didahulukan. Diutamakan yang lebih muda dari kelahiran 2000, tapi kalau ada yang lebih tua, enggak ditolak. Menolak emak budak, janda, golongan bercincin, atau perempuan yang pernah dipunya secara resmi-pacaran enggak termasuk-oleh cowok lain." (dia bilang begini sambil senyum-senyum melirik Rein. Rein cuma balas menatapnya datar, mungkin sudah mulai terbiasa.)
Sewaktu aku berkenalan dengan Kak Delon pertama kali, Mas Adit memperingatkanku untuk berjaga-jaga pada kewarasan orang ini. Kukira dia cuma orang gaje biasa. Baru sekarang aku percaya ada yang salah darinya.
"Huh, katanya jomlo bahagia, tapi godain anak orang mulu." Rein yang bicara. Betulan Rein. Mungkin dia lelah menutup mulut. Atau .... Dia. Sengaja. Menantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...