"Proposal apa ini?"
"Just read it, Pa."
"Mengizinkan Rein berlibur di sini .... Hmm."
"Boleh, Pa?"
"River .... Papa ras—hei! Kenapa kamu sungkem Papa? Stand up. Now. Answer me, River, kenapa kamu sungkem begitu?"
"Temanku bilang, kalau cara penuh kekerasan dan barbar enggak diterima, gunakan cara beradab. Itu cara beradab yang pertama kupikirkan."
"Jadi ini alasannya. Padahal dulu kamu lebih sering memberontak dengan kasar. Sekarang kamu lebih mengendalikan diri. Papa kira kamu sudah sadar kalau kita tidak akan kembali ke Bandung."
"Then thanks to my friend. Orang itulah yang percaya kalau orang tuaku—Papa dan Mama—termasuk tipe orang tua yang mau mempertimbangkan keputusan anaknya sendiri meski itu bertentangan dengan prinsip mereka sebagai orang tua. Darinya, aku menyimpulkan Papa dan Mama tipe orang tua yang bisa menaruh kepercayaan pada aku, anak mereka; bahkan lebih baik dari orang tua lainnya. Dia seorang muslim yang percaya kalau Papa—beragama Buddha—dan Mama—beragama Kristen—mampu mendengar anak dengan baik. Dia yang membuatku percaya hal yang sama. Agama enggak menunjukkan siapa yang harus dipercaya, Pa. Jadi kalau Papa mau menolak proposalku karena Rein muslim, tolong cari alasan lain."
"Siapa temanmu ini?"
"Zikra. Jangan tanya ke mana dia. I'm cursed. Setiap kali aku percaya pada orang, orang itu pasti menghilang dari jangkauanku. Rein, lalu Zikra ...."
"Dua syarat. Satu, enggak ada janji pada Rein kalau kita akan pindah lagi ke sana. Itu enggak akan terjadi dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Dua, ketahui batasan dengan Rein. Sudah jelas, kamu laki-laki, dia perempuan. Tapi lebih dari itu. Islam punya aturan dalam bersosialisasi dan kontak fisik, terutama dengan gender yang berlawanan. Terima itu. Hargai agama dia."
"It's okay. Aku terima kedua syarat itu. Artinya Papa ngasih izin? Walaupun dia harus menginap di sini?"
"Iya."
"Thanks, Pa."
"Papa serahkan padamu sisanya. Tugas Papa sudah selesai. Memberi izin dan tanda tangan saja, kan?"
"Ada satu lagi. Sudah kutulis di proposal itu. Aku minta Papa menceritakan kisah orang tua Papa ke Rein. Supaya dia paham kenapa Papa menganggap agamanya begitu mengerikan."
"Bukan mengerikan, River. You don't get it. Tapi, baiklah, Papa cerita ke dia nanti."
"Aku paham kok, Pa. Papa memilih menjauh dari awal supaya enggak menyakiti mereka. Papa tahu dengan jelas apa yang terjadi dulu, kan? Aku bisa menangkapnya dari kisah Papa. Grandma dan Grandpa sakit hati karena apa yang muslim perbuat pada mereka. Papa enggak bilang padaku apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana kalau rupanya Grandma dan Grandpa yang menyakiti hati mereka duluan? Buktinya Papa takut menyakiti mereka. Papa minta aku menghargai Rein beserta agamanya. Papa mempelajari aturan agama mereka. Sebetulnya Papa hanya takut semua itu terulang, kan?"
"Papa ke kamar dulu."
"Good night."
" Oh ya, River."
"Yeah?"
"You're not cursed. There's no guardian who can be cursed."
-----------------
*beberapa dialog diterjemahkan langsung ke bahasa Indonesia, karena sebagian besar obrolan di Puzzle ini menggunakan bahasa Hokkian.
--------------
To be continued ....
~Jumat, 1 April 2022~
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...