10. Will You Still Kind To Me?

32 6 7
                                    

"River."

Itu bukan suara Rein. Padahal yang bisa memanggil namaku secara langsung sekarang hanya Rein.

Itu suara Deni.

"Bang River." Suara itu lagi.

Aku menoleh ke belakang. Ada Deni di sana. Rambut hitam ikal, tubuh setinggi Rein, lebih berisi dari tubuhku. Dia utuh. Tanpa luka. Seperti efek foto yang diedit-atau lukisan watercolor dengan metode wet on wet tanpa detail-background-nya blur. Tapi aku bisa menebak dari warna-warnanya. Biru langit. Hijau rumput. Bayangan bangunan berwarna cokelat jerami. Tampak seperti foto Los Mbako di Klaten ....

Aku baru sadar. Kakiku tidak menapak di "background-nya". I'm not part of this "scene".

"Mesti kupanggil Bang River biar kamu noleh?" Deni tertawa.

"Stop it." Suaraku terasa bergaung. "Terkesan sok hormat. Dua tahun enggak terlalu jauh sampai kamu harus memanggilku abang."

Deni tertawa lagi. "Alasannya kamu banget, ya, mengingat kamu kelihatannya enggak pernah menciptakan batas denganku."

"Borderline?"

"Aku orang asing untukmu, tapi kamu baik padaku. Kamu mendengarkanku lebih saksama daripada yang dilakukan kebanyakan orang. Kulihat kamu tidak pernah berusaha mendorong seseorang menjauh. Karena itu, aku tahu kamu orang yang benar-benar baik. Umi dan Abi baik padaku karena aku anak mereka. Kalau aku lahir di keluarga lain, bisa jadi Umi dan Abi memperlakukanku sebagai ... entahlah." Dia menggeleng sambil tertunduk. Lalu mendongak, memandangku. Matanya basah. "Lihat. Kamu baru membuktikannya. Biasanya orang akan bilang, orang tua selalu jadi yang paling baik padamu, karena kamu anaknya. Kamu tidak."

Aku ingin bilang aku tahu apa maksudmu, tapi bibirku membeku.

Aku ingin bertanya kamu di mana, tapi lidahku kelu.

Sekilas, aku melihat bayang-bayang Rein saat Deni mengatakan segalanya.

Rein tahu lebih banyak tentangku ketimbang yang diketahui orang tuaku. Karena itu, aku berusaha menyembunyikan banyak hal dari dia untuk melindunginya, tapi kenyataannya, dia akan tetap tahu. Entah mendengar dari mulutku atau bukan, dia menganggapnya seolah itu bukan masalah yang perlu diperpanjang. Dia tidak pernah marah padaku karena itu. Yang akan dilakukannya adalah menyalahkan diri sendiri kenapa dia tidak tahu; dan aku lebih sering marah karena kebiasaan jeleknya ini.

Dia bukan saudara dari rahim yang sama denganku. Tapi dia saudara dari ikatan batin yang terbentuk kemudian, setelah aku lahir. Ikatan yang entah bagaimana bisa lebih kuat daripada ikatan darah. Dia bisa memilih untuk tidak pernah menjadi sahabatku, barangkali dia bisa menjadi musuhku, tapi dia tidak melakukannya.

Dia keluargaku, bila keluarga adalah orang pertama yang ingin kamu temui, dengar suaranya, dan mampu menenangkan setiap kamu merasa penuh masalah, ketakutan, dan dikelilingi semua emosi negatif.

Tapi, memang aku segitunya di mata Deni?

Deni berbalik pergi. "Aku beruntung mengenalmu." Lalu semuanya menggelap. Badanku mati rasa, seakan tidak ada lagi tangan dan kaki. Seakan kepalaku melayang sendirian.

"River." Kali ini suara Rein. Begitu pelan, sampai terasa seperti bukan Rein yang biasanya bicara lantang seolah tinggal di tengah rimba. "Bangun."

Perlahan bisa kurasakan kembali anggota tubuhku. Tubuhku banjir keringat. Menggigil di waktu yang sama. Aku membuka mata. Langit-langit kamar semalam.

Ah, hanya mimpi .... Dari kenangan.

Deni yang sungguhan memang pernah bilang seluruh kalimat di mimpi itu. Di rumahku, saat dia membawa membawa LEGO yang memiliki hasil jadi seukuran kepalaku, memintaku membantunya. Aku tidak menolak kedatangannya tempo hari; dia datang karena hal remeh, artinya dia hanya butuh kehadiran orang lain.

Inikah yang Rein rasakan tiap kali perkataan seseorang dalam memori mengganggunya tidur?

Aku mengerjap. Rein menyentuh pipiku. Aku langsung menepis tangannya karena refleks, lalu cepat-cepat menggumamkan maaf. Rein tersenyum miring sekilas, kelihatan tidak terlalu peduli.

"Aku baru pertama kali lihat kamu tidur sampai keringat dingin dan sesak napas gitu. Kamu mimpi apa?"

Mustahil kubilang kamu dan Deni, karena aku sendiri enggak tahu korelasinya sampai bisa membuat tubuhku bereaksi begitu. Aku mengusap wajah. "Not only you. Aku enggak punya riwayat asma." Lebih baik membahas itu daripada membahas isi mimpi.

"Sewaktu aku ke Tanjung Pinang, kamu menawariku bahu untuk bersandar kalau aku perlu tempat mengeluarkan emosi. Kita enggak memandang gender satu sama lain. Kita enggak memandang agama satu sama lain. Aku menawarimu sebaliknya sekarang." Rein menepuk bahu kirinya.

Ugh. Malah merembet ke sini. Aku menggeleng, cepat-cepat menyambar kacamata dari kolong kasur Rein. "Pukul berapa sekarang?"

"Sebetulnya, walau enggak lihat kamu tidur sambil bergulat dengan setan," Rein berhenti sejenak saat aku mendelik padanya, "aku bakal tetap bangunin kamu. Pindah ke kasur. Aku mau salat subuh."

"Aku enggak mau tidur lagi untuk sekarang." Aku beranjak ke kamar mandi setelah melipat ponco asal-asalan selama Rein punya tempat untuk salat. "Aku mau mandi, sekalian mengeringkan baju semalam pakai torch. Kamu perlu wudu lagi? Tadi kamu menyentuhku."

***

BST adalah singkatan dari Batik Solo Trans. Bahasa umumnya: bus dalam kota. Mungkin di Jakarta, disebut Transjakarta. Di Tanjung Pinang ... entahlah, aku enggak pernah lihat. Intinya, perjalanan Sukoharjo-Solo adalah perjalanan paling "waras" selama dua hari ini untuk sekarang, mengingat dari kemarin aku dan Rein berjalan kaki atau menumpang kendaraan pribadi orang lain.

Pasar Gede Har-anu-I-can't-recall-the-name. Aku menarik napas dalam-dalam begitu masuk. Aroma rempah jamu-jamuan tercium samar di antara "aroma pasar". Ah ... ini dia ciri khasnya.

"Kamu mau belanja apa di sini?"

"Nothing." Aku tertawa. Lalu menarik lengan Rein supaya dia jalan duluan. "Be my guiding light. Aku buta mengenai lorong pasar, tapi suka suasana pasar."

Rein akhirnya tetap memandu jalan meski bertanya, "Mentang-mentang namanya Pasar Gede Hardjonagoro?" By the way, itu dia namanya. Hardjonagoro. Konon itu adalah gelar Tjan Sie Ing yang pertama kali dipercaya untuk mengambil hak sewa pasar ini.

Nama Pasar Gede, seperti kata Rein, cocok untuk tempat ini karena ia terasa "gede". Suasananya seperti pasar tradisional lain, tapi versi tidak becek. Lorong remang-remang terasa sama semua. Beberapa lapak kosong atau tutup. Beberapa lapak sayur menjual sayur segunung, dengan suara penjual yang menurutku enggak cocok untuk berteriak. Too soft. Padahal penjualnya laki-laki.

Untungnya, bau jamu selalu mengikuti ke mana pun kau pergi di sini.

Cukup untuk penenang setelah perjalanan melelahkan. Lebih sehat daripada minum ibuprofen.

"Riv, menurutmu Keraton Solo akan menyimpan petunjuk apa soal Deni?"

"Yang jelas, aku yakin Deni menyimpan sesuatu di sana. Dia punya obsesi aneh pada hal tua. Dan pada keraton itu. Dia berkali-kali mention itu kalau bicara denganku." Aku membaui udara sekali lagi. Masih penuh wangi jejamuan. Kali ini lebih kuat karena penjualnya ada di ujung jalan sana. Tiba-tiba hidungku gatal, dan bersin. Sial. Yang namanya menusuk tetap saja menusuk, walaupun bukan bau enggak menyenangkan.

Setelah menggosok hidung, aku berbicara lagi. "Lama-lama aku punya kekhawatiran yang sama dengan Pras. Aku takut dia mendadak berpacaran dengan nenek-nenek."

-------------

To be continued ....

~Minggu, 27 Maret 2022~

His RebelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang