20. Don't Talk About It

17 6 5
                                    

Hari sudah malam, tapi udara masih terasa gerah meski angin bertiup. Daerah Wates masih termasuk wilayah Pantai Selatan, jadi ini masih angin pantai, so, yeah, I won't ask why anymore untuk sekarang.

Di sekitar stasiun, ada sebuah warung pecel lele yang buka. Kami makan malam di sana setelah yang lain selesai salat.

"Ran, please, habis ini cari tempat nginep. Akang kan udah bilang ke kita buat enggak buru-buru." Kak Vi sebetulnya bisik-bisik pada Kak Eran yang duduk di sebelah kirinya. Tapi suaranya masih bisa didengar olehku yang duduk di sisi satunya Kak Eran. Akang yang dibilang Kak Vi adalah kakak laki-laki mereka yang akan menikah dalam seminggu lebih beberapa hari; alasan kenapa mereka pulang ke Garut. "Kamu pakai acara penasaran sama jalur selatan. Harusnya muter lewat utara kayak biasa aja."

Kak Eran enggak menjawab. Hanya memutar bola mata.

Makanan kami datang. Pecel lele tanpa bumbu pecel yang kukenal—bumbu kacang giling.

Rein rupanya masih sempat dengar juga pembicaraan dua anak kembar ini. Sambil makan, dia berbisik padaku, "Kamu tahu legendanya, kan?" Kepalanya cukup dekat sampai ujung topi yang dia pakai menyentuh kepalaku.

Legenda ratu penunggu? Aku tahu dia angker, tapi entah bagaimana ceritanya. Aku lebih tahu cerita hantu bunian. "Terlalu sedikit untuk disebut 'tahu'."

"Kapan-kapan kamu harus cari tahu. Kalau percaya legendanya, kamu harusnya senang karena enggak pakai baju hijau sewaktu ke Parangtritis tadi. Katanya, yang pakai baju hijau bisa-bisa dibawa pergi," dia berbisik lagi. "Intinya, kalau kita enggak menginap, jangan biarin Kak Eran bangun sendirian. Temenin. Perlu janjian kapan kita gantian tidur?"

Aku berhenti makan, melirik Rein. Dia kelihatan serius membicarakan ini.

Aku tahu Rein percaya soal makhluk dunia seberang. Tapi Rein yang kutahu akan menghadapi kisah mereka adalah dengan merasa jangan takut pada mereka, kita dan mereka kan sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Seandainya ini cara dia menghadapi cerita Pantai Selatan, artinya ... aku ketinggalan apa selama meninggalkan Pulau Jawa?

Bukan hanya setelah pindah ke Tanjung Pinang, saat masih di Bandung juga, aku jarang menyimak cerita sang ratu ini. Karena Bandung bukan wilayah Pantai Selatan, tiap kali dengar berita tentang itu (apalagi setelah aku di Tanjung Pinang), aku sering berkata dalam hati, Entah buaya, entah katak. Entah iya, entah tidak.

And, now, I regret my choice those times.

"Aku bakal bangunin kamu nanti kalau enggak kuat menahan kantuk lagi, Rein."

***

Kami berhenti di beberapa penginapan. Selalu Kak Vi yang turun bersama Rein untuk bertanya harga. And the ending always be the same: mereka kembali sambil menggelengkan kepala, berkata harganya mahal. Alhasil, perjalanan berlanjut. Keputusan itu kami sesali belakangan setelah tidak bertemu penginapan lagi. Padahal Kak Vi sudah bertekad, "Berapa pun harga penginapan selanjutnya, kita check-in aja."

Malam makin larut. Pukul sebelas sekarang. Lampu-lampu dari rumah di pinggir jalan makin sedikit. Jalan yang kami lalui begitu sepi. Tidak ada pembicaraan. Hanya ada lagu dari ponsel Kak Eran—mayoritasnya lagu berbahasa Jepang—yang meramaikan keadaan dan menyembunyikan bunyi samar ombak di luar.

Kak Eran sendiri enggak menunjukkan ekspresi mengantuk; matanya masih sesiaga sore tadi.

Aku menoleh ke kursi belakang. Rein tertidur, bersandar pada carrier-nya yang berada di antara dia dan Kak Vi. Kak Vi sendiri hanya memandang ke depan, tersenyum kaku saat bertemu mataku.

His RebelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang