Menurut clue dari Pras, seandainya Deni pergi ke tempat yang selalu dia impikan, yang masih bisa dijangkau (seperti kata Rein), bisa jadi dia ke:
1. Toko barang antik dan oleh-oleh di Malioboro, Yogyakarta
2. Keraton Surakarta, Solo
3. Lumbung yang terbuat dari batang atau serat tebu, Unknown
Aku mengernyit sewaktu menulis poin ketiga. Di mana aku bisa cari tahu soal ini? Memangnya hanya lumbung daerah tertentu yang berbentuk seperti itu?
Seperti bila aku mencari "upacara pembakaran mayat di Bali" akan muncul jawaban "ngaben"? Atau bertanya "upacara kedewasaan berupa lompat batu dari mana" yang akan memunculkan jawaban "Pulau Nias"?
Lumbung padi, artinya banyak sawah. But which one? Masih terlalu luas. Banyak daerah di Pulau Jawa yang dihuni sawah.
"Mikir apa, Riv? Utang?" tanya Mas Adit.
Aku mendongak. Rupanya Mas Adit melihatku lewat spion tengah. Sepintas saja, dan dia kembali memandang jalanan.
"Mas tahu daerah mana yang punya lumbung dari batang atau serat tebu?"
"Hmm," Mas Adit bergumam sesuatu, lebih seperti pertanyaan untuk diri sendiri, setelah itu bilang, "rasanya baru-baru ini kamu ngomongin soal lumbung yang gitu deh, Dek. Iya, kan?" sambil menepuk paha Mbak Reta yang melihat sesuatu di ponsel.
Mbak Reta mengangguk, masih berkutat dengan ponselnya, "Sek. Ada fotonya."
Aku tertegun, lalu menahan senyum. Ada fotonya. Bisa jadi Mbak Reta tahu itu ada di mana.
Dia menunjukkanku sebuah foto dari akun Instagram-nya sendiri. Sebuah bangunan semi permanen—entah setinggi apa, enggak ada perbandingan di foto itu-yang terbuat dari ilalang kecokelatan. Berada di tengah-tengah lahan hijau berumpur seperti sawah. "Los Mbako. Di Karanglo, Klaten."
Cepat-cepat kutulis nama tempat itu beserta nama daerahnya. "Fotonya bisa dikirim, Mbak? Boleh kirim ke aku?"
Selagi Mbak Reta mengirim foto padaku menggunakan ponsel suaminya, Rein menoleh dari jendela. "Namanya etnik banget, bangunan apa sih itu?"
"Mbako sendiri artinya 'tembakau'. River, coba periksa, sudah masuk fotonya? Takut sinyalnya jelek." Mbak Reta melirik sebentar ke belakang. Aku mengacungkan jempol. "Nah sudah. Coba lihat ke River, Rein. Ia kan ada di tengah sawah. Katanya, pada musim tertentu, sawah itu sering dialihfungsikan sebagai perkebunan tembakau. Ada juga yang bilang, dulu tempat ini adalah kebun tembakau sebelum jadi persawahan. Dari jauh lebih mirip gudang ketimbang lumbung dari anyaman tebu kering."
"Di Karanglo, Klaten, ya ...." Aku membuka peta Jawa yang ditempel di halaman depan Frozen Memories. Karena petanya tidak rinci; hasil gambarku sendiri, daerah Karanglo tidak terbaca di peta. Tapi posisi Kabupaten Klaten sendiri bisa terlihat jelas: sebelum Yogyakarta. Kupandangi pemandangan di luar jendela. Kami tidak lewat tol. Jarang terjadi kasus itu kalau sedang menumpang. Bahkan dengan Kak Rangga kemarin, kami melewati jalan raya antarprovinsi tanpa tol.
"Mau ke sana, Riv?" Mas Adit yang bertanya.
Aku mengangguk pelan, kembali memandang depan. "Mungkin." Tidak mungkin kujelaskan pada Mas Adit soal pencarian. Lebih sedikit yang tahu, lebih bagus.
"Enggak susah kok carinya. Asal masuk ke jalannya, yang kiri-kanannya hamparan sawah semua, kelihatan kok bangunan itu."
"Noted. Thanks, Mas, Mbak."
"Ada cara gampang lagi, Riv. Minta tolong sama Delon. Dia kan dari daerah situ. Yogyakarta dan Klaten dekat, seingat saya."
No, thanks. Itu cara terakhir yang kubutuhkan. Apalagi tanpa Mas Adit bersamaku.
***
Kami tiba di parkiran Taman Celosia Bandungan sekitar pukul satu siang. Cuacanya aneh, tapi familier. Terik, membuat berkeringat, tapi dingin juga karena anginnya. Seperti Bandung.
Baru sekali ini aku dengar sekaligus bertemu kabut tebal di daerah Jawa Tengah. Bukan kabut erupsi atau kabut asap. Maksudku adalah kabut embun. Seakan sebentar lagi hujan embun akan turun. Seperti yang biasa terjadi pada after lunch time di Artapela, Pangalengan, kata Rein.
Aku berekspektasi sebagian besar wilayah Pulau Jawa akan panas kecuali yang terletak di lereng atau kaki gunung. And, I just realize, daerah yang kami datangi kali ini berada tepat di kaki Gunung Ungaran. Kalau begitu, normal saja ada hujan kabut.
Rein, juga Mas Adit dan istrinya, salat di musala di tempat parkir. Kami makan siang dengan bekal masing-masing. Aku dan Rein menghabiskan sayur tahu yang kami beli tadi pagi, khawatir basi jika disisakan untuk malam.
Melihat cuacanya yang berkabut, kami setuju untuk langsung berjalan menanjak ke Candi Gedong Songo. Wisata foto seperti Taman Celosia bukan sesuatu yang harus diutamakan ketimbang hiking di kompleks candi.
"Kami boleh titip carrier?" Aku menggendong carrier setelah mengambil jaket, tertawa kecil sambil menghampiri mobil Mas Adit.
"Bolehlah. Janjian di sini lagi, ya, seandainya kita berpencar. Tujuan kalian Solo, berarti masih bisa ikut kami juga, kan?"
"Iya, Kita memang bakal berpencar, Mas. Kami berdua skip Taman Celosia. Rein juga sudah deal soal itu."
"Pasti merasa enggak fotogenik, ya? Saya tahu perasaanmu." Mas Adit tergelak. Dia ingin menggosok wajah, tapi baru sadar tangannya penuh butiran nasi. "Berarti mau langsung ke Gedong Songo? Sampai ketemu di sana kalau begitu."
Mas Adit pergi ke musala. Gantian, Rein mendatangiku. Dia memegang kue lekker di kedua tangannya. Kapan dia pergi jajan? Dia baru mengataiku boros kemarin.
Diulurkannya satu padaku. "Punyamu. Mau?"
Aku tergelak sebelum menerimanya.
***
Candi Gedong Songo adalah kompleks istana di lembah para dewa.
Beberapa kenalanku bilang begitu.
Berbeda dengan Candi Borobudur yang sengaja dibangun dalam balutan cahaya matahari, Candi Gedong Songo diselimuti kabut embun putih serupa awan. Seolah ia perlahan timbul saat orang-orang melakukan pendakian, mengaku sebagai kahyangan tempat muncul para bidadari. Andai betulan ada bidadari.
Dulunya tempat ini bernama Kompleks Candi Gedong Pitoe (tujuh), tapi karena ditemukan dua lagi, berubah nama menjadi Candi Gedong Songo (sembilan). Sayangnya, kata Rein yang baru menguping sebuah rombongan dengan tour guide pribadi, hanya ada lima yang bisa didatangi pengunjung umum.
CANDI PERTAMA: Bisa didatangi amatir seharusnya. Tidak ada jalan yang terlalu curam.
CANDI KEDUA: Lebih tinggi. Lebih dingin. Lebih banyak kabut.
CANDI KETIGA: Tidak jauh dari candi kedua. Kebanyakan orang dari candi kedua pasti langsung ke sini.
CANDI KEEMPAT: Err .... Hujan kabut turun. Rein mengajak kembali ke bawah saja daripada hujan kabutnya malah berubah jadi hujan sungguhan. Karena katanya candi yang ini ada di tengah hutan (dan katanya lagi, aku kelamaan menggambar di candi kedua). Jadi, candi keempat tidak sempat didatangi.
CANDI KELIMA: Tinggal angan-angan saja. Bye-bye.
--------------------
To be continued ....
~Jumat, 25 Maret 2022~
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...