Kembali ke rencana pertamaku sebelum pencarian Deni: backpackering. Hanya backpackering, tanpa embel-embel "mencari si anu". Fix kuanggap selesai sore ini, mengingat aku dan Rein perlu waktu untuk istirahat sebentar sebelum lanjut berkeliling Bandung. Bujukan Kak Delon, sebanyak apa pun itu, rupanya enggak mempan menahanku di sini.
Ditambah, Kak Delon dengan senang hati mengajak aku dan Rein menuntaskan perjalanan di sini seandainya kami berkunjung lagi.
Meski begitu, bukan berarti aku menolak jalan-jalan melihat jalur Pantai Selatan sekalian pulang, berhubung jalur Pantura sudah dilewati saat berangkat. Mumpung bisa menumpang seseorang yang memang akan pergi lewat sana.
Tapi ya, bukan harus menumpang mantan pacar Kak Delon juga ....
Apalagi kalau Kak Delon yang menawarkan.
Dia benar-benar menawarkan kami menumpang pada mantannya. What the—
Trust me, aku benci pelajaran Matematika karena ia selalu menyuruhku mencari (nilai) X. Di telingaku, terdengar seperti permintaan mencari mantan yang dikemukakan seorang anak manja. Salahkan bahasa Inggris "mantan" yang adalah "ex". Tentu saja kugunakan alasan yang lebih logis untuk menolak Kak Delon: aku tidak ingin memperburuk suasana mereka berdua.
Kak Delon hanya mengibaskan tangan saat aku mengatakan itu. "Aku sama dia baik-baik aja kok, asli. Kami putus bukan karena ada yang selingkuh atau posesif enggak jelas. Dia cuma ngerasa aku terlalu bersemangat buat dia yang kalem—padahal Rein masih lebih kalem daripada dia, tahu." Dia melirik Rein yang sedang mengurus sesuatu di carrier-nya, lalu berbisik, "Tapi cantik juga ya dia, kalau pakai topi. Apa kukasih aja topiku yang ini buat dia? Aku masih punya lagi kalau topi."
Malah bucin lagi orang ini. Rein juga kelihatannya enggak sadar masih pakai topi Kak Delon.
"Back to topic, Kak. Itu tawaran serius? Kak—siapa tadi?—memangnya bolehin kami ikut sampai Garut?"
"Seriusan lah. Aku udah nanya ke si Vi. Dia bolehin, beneran. Aku ada chat-nya kalau kamu enggak percaya. Udah kubilang, aku sama dia putus baik-baik."
Fudge. Memangnya ada kasus seperti itu?
Siapa tahu Kak Delon cuma bercanda kalau dia "enggak berantem" dengan Kak Vi. Aku enggak setuju kalau harus memperparah keadaan dua orang itu ....
Tapi. Dompetku. Setuju.
Sial.
"Oi, Rivai. Ada yang mau kubilangin dulu ke kamu." Kak Delon memanggilku mendekat. Lalu berbisik, "Aslinya sih, ini hasil curhatan Rein yang kurangkai jadi nasihat."
Wait .... Orang ini bisa ngasih nasihat? "Nasihat apa, Kak?"
***
Nama kontak yang diberi Kak Delon untuk Kak Vi adalah "Viiigaroo". WTH. What's this guy's deal?
Akhirnya, Kak Delon bilang kalau Kak Vi sebetulnya bernama Evina Wilasita. Kelihatannya Kak Delon punya kebiasaan memanggil orang (atau perempuan saja?) menggunakan satu suku kata. Nis. Git. Vi. Lalu apa lagi? Rein beruntung nama panggilannya sejak awal dibaca sebagai satu suku kata yang ujungnya "mati".
Aku dan Rein berjanji bertemu Kak Vi setelah salat Asar di sekitar pusat oleh-oleh bakpia. Rein sibuk menonton orang yang membuat bakpia dari kaca. Barangkali memang dibuat begitu supaya bisa ditonton oleh pengunjung. Oh ya, Rein pakai topi Kak Delon; Kak Delon sungguh-sungguh memberinya topi itu. Kata Rein juga, mereka sempat bertukar nomor telepon dan media sosial. Nice. Aku enggak perlu repot-repot jadi mak comblang.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...