Antara Bandungan sampai Sukoharjo, ada banyak pemandangan yang memorable, terutama setelah langit gelap. Karena ... aku tidur sampai lewat magrib. Dan Rein enggak membangunkanku, cuma melepas kacamataku saja. Entahlah apa mereka sempat berhenti untuk salat magrib. Rein menyuruhku enggak perlu memikirkannya. Bisa di-jamak atau apa pun istilah yang tadi disebut Rein.
Dua pemandangan yang paling kuingat adalah Toko Cat WaWaWa dan Patung Arjuna Wijaya.
Toko cat Warna Abadi, lebih terbaca WaWaWa di mataku karena itulah tulisan di balihonya. Ia sering muncul di sepanjang jalan. Menimbulkan efek de javu. Keadaannya sama semua pula: tutup, dengan lampu menyorot balihonya. Sayangnya aku enggak tahu sedang di daerah apa karena mobil bergerak terlalu cepat, melewati toko cat sebelum aku membaca alamatnya.
Penyakit "buta daerah" berhenti ketika aku melihat Patung Arjuna Wijaya diguyur sorot lampu yang bergantian menampilkan berbagai warna. Welcome to Boyolali. Yay!
"Mau cari soto?" kata Mas Adit tadi.
"Memang masih ada yang jualan?"
Tidak ada yang menjawab Rein. Mas Adit pun kelihatan sangsi.
Itu tadi. Sekarang kami di Sukoharjo. Sudah berpisah arah dengan Mas Adit dan Mbak Reta.
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan. Dan sampai sekarang, kami belum makan.
Kebanyakan toko di sekitar sini sudah tutup, padahal ini jalan besar. Satu-satunya yang masih dibuka (dan mencolok) adalah sebuah toko pakaian setinggi dua lantai. Tapi pakaian dan gantungan baju enggak bisa dijadikan makan malam, sementara toko itu enggak bisa dijadikan tempat istirahat kecuali mau dianggap gelandangan dan ODGJ yang siap diusir.
"Riv, gimana kalau makan malamnya menthok?"
"Mentok? Stuck, maksudmu?"
"Bukan, ada huruf h di antara t dan o. Masih buka enggak, tuh?" Rein menunjuk sebuah warung makan beberapa langkah di kiri depan kami. Di depannya tergantung banner yang sudah bolong-bolong. Tulisan "menthok" itu terlihat di sana, dan makin jelas sewaktu kami sudah tepat di depannya.
Dalam sekali intip ke jendelanya yang tidak tertutup gorden, aku tahu aku akan suka suasana di dalam—sedikit berantakan, sederhana, bukan tempat yang menguras isi dompet. Lampunya masih menyala, meski bukan lampu dengan watt tinggi. Pintunya tertutup beberapa papan, menyisakan celah sebesar dua papan lagi.
"Kita enggak akan pernah tahu kalau enggak mencoba bertanya." Aku melangkah ke celah papan duluan, melongok ke setiap sudut. "Permisi."
Seorang wanita paruh baya keluar dari arah belakang. Wajahnya kebingungan sambil tersenyum melihatku. Rambutnya ikal putih berantakan, megar, seperti rambut Albert Einstein versi kriwil alih-alih tegak. Dia bicara sesuatu. Terlalu cepat. Dominan istilah bahasa Jawa. Aku menahan wajah masam. Aku lapar. Aku lelah. Dan dua itu menunjukkan ini bukan best condition-ku untuk mengartikan bahasanya.
"Masih bisa makan di sini, Bu?" Rein langsung menyeruak ke sebelahku setelah mendorong punggungku sedikit, kelihatannya habis tersandung papan pintu.
Ibu itu mengangguk, bicara (cepat) lagi, sibuk menurunkan kursi yang sudah ditumpuk. Aku cepat-cepat membantunya walau terlambat—kursi kedua sudah turun saat aku baru membantu. Rein bertanya soal makanan pada ibu itu, lalu menoleh padaku. Aku mengangkat alis sebagai isyarat "samakan saja".
"Di dekat sini ada penginapan atau kamar kos yang bisa disewa semalam, enggak, Bu?" tanyaku saat sang ibu mengantarkan makanan kami. Nasi dan ... semacam unggas yang digoreng? Aku memandang wajah Rein. Kelihatan puas. Berarti bukan salah pesan. Ini bakal BMM, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...