Sementara Rein mandi dan salat subuh, aku yang baru selesai mandi langsung berselubung diri dalam jaket. Kuperiksa nasi semalam di dalam kastrol di carrier Rein. Masih bagus. Kering, walau dingin. Bisa disimpan untuk siang nanti.
Kukeluarkan salah satu nesting kosong dan mengisinya dengan air di keran wudu. Aku menggendong carrier-ku di bahu kiri dan carrier Rein di bahu kanan, membawanya ke pelataran parkir yang sepi. Waktunya menyiapkan sarapan.
Rein datang, lalu berjongkok di sampingku yang baru menaruh panci air di atas kompor. "Dingin, Riv? Biasanya jaketnya dilepas ...."
Kulirik Rein yang pakai kaus lengan panjang tanpa jaket. Sudah cukup aku dibuat minder oleh Keira dan Kak Rangga. Jangan Rein juga.
"Jangan retorik, Rein, please." Suaraku sengau. "Aku bukan anak gunung lagi, sudah kelamaan di pantai. Nanti kulepas sewaktu kita mulai jalan." Aku mengambil tisu di saku jaket, membuang ingus. Bahkan panas api kompor terasa begitu hangat dan nyaman untuk sekarang. "Masak mi saja pagi ini. Siang nanti kita enggak usah masak."
Ponselku berbunyi. Notifikasi pesan. Aku mengambil ponsel di saku. Ini dia pesan yang kutunggu. Isinya: Bolehlah, Bro. Di Sam Poo Kong pukul 8, ya? Tapi saya mau mampir ke Lawang Sewu dulu setelah itu, gapapa, kan ya? Istri ngajak jalan dulu, selama ini enggak pernah ke objek wisata gituan. Kita kan anak "wisata gratisan". Hahaha. Zuhur nanti baru di MAJT. Apa mau ketemu di Lawang Sewu aja?
Yes! Tumpangan gratis untuk "touring Semarang" siang ini!
Rein mulai membuka bungkus mi instan. Aku menyimpan ponsel lagi setelah membalas pesan tadi.
"Jadi, hari ini kita ke mana, Riv?"
"Kali ini, kita cuma butuh penduduk setempat untuk petunjuk arah di jalan sempitnya." Aku menunjukkan alamat yang kutemukan semalam.
"Kita ... ke warung?"
"Enggak langsung ke sana. Perjalanan kita dari Semarang ke kota lain adalah 'jalan-jalan', kan? Just do it like a holiday with additional task, Rein. Jadi, kita ke Klenteng Sam Poo Kong dulu."
"Semacam ziarah?"
"Bisa jadi. Yang jelas, aku cari tumpangan gratis."
Rein mengangkat alis. Senyumnya tersungging miring. "Kupasrahkan segalanya pada rencanamu, juga kenalanmu, Riv. Kayaknya mereka normal-normal aja, kalau lihat Kak Rangga kemarin."
Oh-ho. Rein belum tahu saja. Ada "Jack in The Box" yang kurang waras; Kak Rangga saja setuju soal itu. Untungnya, Rein belum tentu bertemu orang ini.
Kenapa pula si "Jack in The Box" ini bisa masuk kategori "3 Orang Paling Akrab Denganku", ya?
***
Sekarang, setelah sampai di Klenteng Sam Poo Kong, aku paham kenapa Mas Adit mengajakku janjian pukul delapan pagi.
Aku dan Rein sampai di sini pukul setengah delapan pagi, berjalan kaki beberapa kilometer dari Masjid Kauman. Hanya terlalu cepat setengah jam. Dan gerbangnya masih tertutup. Bahkan jalur masuk ke pelataran parkir saja masih dirantai. Duduk saja menunggu setengah jam? Aku melihat sekeliling. Pemandangan di sekeliling klenteng enggak menarik. Setengah jam bisa berasa setengah hari.
"Kita keliling saja dulu." Aku berdiri menghadap Rein yang duduk di batu pembatas jalur masuk. "Atau kamu mau menunggu saja?"
"Ikut aja. Buat apa nunggu lama-lama di sini?"
Maka dari itu, kami mengelilingi kompleks klenteng dari luar. Di sisi belakang, ada yang berjualan semacam nasi liwet dan lauk-pauk siap jadi. Padanya kubeli sayur tahu untuk makan siang nanti. Lima ribu rupiah saja, kubilang, karena cuma aku dan Rein yang makan, sementara biasanya lima ribu rupiah enggak akan membeli banyak.
Ibu yang berjualan mengambil sebuah plastik makanan ukuran sedang. Okay, mungkin dia kekurangan plastik yang lebih kecil.
Satu sendok. Dua sendok. Tiga sendok .... Biasanya cuma segitu. Tapi ibu ini masih menuang sayur tahunya sampai melebihi setengah plastik. Something goes wrong right now .... "Lima ribu saja, ya, Bu."
"Iya, ini lima ribu." Ibu itu masih menuang satu sendok lagi sebelum mengikatnya.
Wow. Murah banget makanan di sini. Tanjung Pinang dan Bandung jelas kemahalan menetapkan harga makanan.
Kami lanjut menelusuri jalan tadi. Ada keramaian, semacam pasar. Tapi Rein bilang sudah pukul delapan kurang sepuluh menit. Alhasil kami kembali ke kompleks klenteng, yang untungnya sudah buka saat kami sampai.
Mas Adit sudah ada di dalam kompleks klenteng. Pria umur 20 tahunan, tubuhnya berisi, berdiri di dekat mobilnya. Dia bicara dengan seorang perempuan yang kuduga adalah istrinya.
"Itu orangnya," kataku pelan pada Rein. "Mas Adit, salah satu backpacker yang ke Tanjung Pinang waktu itu. Dari Batang. Mau ke Sukoharjo. Perempuan itu Mbak Reta, istrinya—kelihatannya, ya, karena aku juga belum pernah ketemu mbak itu secara langsung. Mas Adit mampir ke wisata-wisata kayak klenteng ini, dan rencananya Lawang Sewu, karena istrinya yang mau."
"Kukira yang backpacker-an pada single."
"Ada banyak jenis. Ada yang single kayak Kak Rangga, ada yang sudah menikah tapi diizinkan pasangannya untuk backpacking, ada juga yang dapat pasangan sesama backpacker. Mas Adit golongan kedua. Ada juga jenis dari segi alasan keuangan, dua di antaranya: golongan kere yang mau jalan-jalan murah dan golongan tajir yang mau 'uji diri'."
Aku berjalan mendekati Mas Adit, menyapanya. Adu telapak tangan, adu tinju, ditambah meninju bahu kanan satu sama lain. Rein dan Mbak Reta terdiam melihat kami.
"Masuk dulu, yuk." Mas Adit pergi ke pintu masuk bersama istrinya. "BMM, ya." Dia terkekeh saat berbisik begitu.
Aku mengangkat jempol, mengikutinya dari belakang dengan Rein. BMM yang dimaksudnya adalah Bayar Masing-Masing. Urusan standar. Enggak ada aturan tak tertulis semacam "yang tua yang bayar".
Sebetulnya, bisa saja aku melewatkan saja tempat ini. Hanya saja, aku penasaran. Konon, di tempat ini ada patung Laksamana Cheng Ho. Aku tahu sejarah laksamana itu, tapi yang mau kutekankan di sini adalah dia muslim. Dan orang-orang beragama Kong Hu Cu di sini menyembahnya sebagai dewa. Aku paham, itu kepercayaan mereka dan aku tidak berhak mengusiknya, tapi tetap saja, respons pertamaku saat tahu adalah, "WTH".
Maksudku, fine, banyak agama di dunia yang menyembah manusia sebagai dewa. Tapi, menyembah manusia penyembah Tuhan yang diyakini ada di langit kesekian (aku tahu itu dari Rein)? Rasanya enggak masuk ke logikaku. Ditambah, di sini ada beduk sebagai pengingat agama yang dianut Cheng Ho. Artinya mereka sadar dia muslim?
Patung Laksamana Cheng Ho langsung terlihat begitu masuk. Di antara dua bangunan megah berwarna merah. Patung itu sendiri tinggi, melebihi tinggi dua bangunan di sisinya, dan berwarna perunggu. Mengenakan pakaian yang sering kuanggap sebagai pakaian pendekar Tionghoa.
Well, kalau agama dilihat dari pakaian, enggak akan ada yang menyangka Cheng Ho seorang muslim.
----------------
To be continued ....
~Rabu, 23 Maret 2022~
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...