3. Forgotten, Huh?

46 16 53
                                    

Sedikit perkenalan tentang orang tua Kak Rangga yang akan kutumpangi mobilnya hari ini.

Ibunya kupanggil Bu De. Bukan bude dalam bahasa Jawa, seperti yang ditangkap telinga Rein pertama kali. Nama wanita ini De Tama. Tama adalah nama suaminya; ayah Kak Rangga. Aku belum pernah bertemu mereka. Tapi apa pun yang dikatakan Kak Rangga kelihatannya meyakinkan sampai langsung mengizinkan aku dan Rein ikut dengan mereka bertiga.

"Jalan Rumah Sakit yang itu." Rein mengangkat tangan ke depan wajahku, membuatku berhenti berjalan. Dia menunjuk ke seberang jalan. "Coba lihat dulu di simpangnya. Ada, enggak?"

"Wait." Aku mengeluarkan ponsel dari tas paha, memeriksa kembali pesan dari Kak Rangga. Dari Jalan Rumah Sakit, belok ke kiri sedikit ke arah bypass, di situ aku nunggu. Tapi aku enggak bisa lihat Kak Rangga di tempat itu. "Rein, kita mesti ke seberang. Aku enggak bisa lihat orangnya."

"Mobilnya apa?"

"Hah?" Aku dengar Rein bilang apa. Maksud hah-ku adalah .... Aku. Lupa. Tanya. Dan Kak Rangga enggak bilang. "Kita ke seberang dulu saja."

Kami langsung menyeberang melihat jalanan yang lumayan lengang. Lampu lalu lintas juga menyalakan warna yang sesuai dengan kebutuhan kami, menghindari risiko ditabrak kendaraan yang ngebut mentang-mentang masih pukul tiga pagi.

Udara dingin. Terlalu dingin. Napasku beruap. Ujung jariku mati rasa. Cepat-cepat kumasukkan tangan ke saku celana kargo. Aku sudah tahu keadaan akan dingin begini. Kepalaku saja yang mendadak bodoh, malah menyimpan jaket di tas. Rein sendiri memakai jaket, meski enggak dipasang ritsletingnya.

Angin berembus pelan. Menggelitik hidung dan tengkuk. Menyesakkan napas. Ouch. Nanti jaketku harus memeluk aku erat-erat.

Aku menelepon Kak Rangga. Rein memutuskan pergi. Katanya, enggak banyak orang yang mau nangkring di simpang bypass pada waktu begini, jadi seharusnya Kak Rangga mudah dicari sekalipun enggak tahu wajahnya bagaimana.

"River! Syukur deh kamu nelepon." Suara Kak Rangga terdengar keras begitu panggilanku dijawab. "Aku lupa bilang apa mobilnya aih. Sumpah. Kukirim di chat kamu sekarang deh. Tadi takut kamu enggak baca. Punten pisan. Sekali lagi, sori banget."

Mobil mereka rupanya terparkir agak jauh dari simpang, tapi masih terhitung dekat. Satu dari dua mobil yang terlihat sejauh mata memandang. Bodi mobil bercat hitam lusuh, baret di beberapa titik, tapi modelnya masih lebih baru dari Kijang kotak kebanggaan Mama.

Kak Rangga berdiri di luar pintu sopir, melambai sambil tertawa saat melihatku. Mudah dikenali; dia seorang muslim yang sering mengenalkan diri sebagai ITaChi (Itam, Tapi China). Ya, di antara 9 orang backpacker yang menumpang di rumahku (jangan hitung aku), 2 beragama Kristen, 1 beragama Hindu. Tapi, Kak Rangga termasuk ke dalam "3 Orang Paling Akrab Denganku", bukan "3 Orang Beragama Minoritas."

Matanya sipit, walau kulitnya sun-burned. Rambutnya ikal, 'nakal', sering berantakan dengan sendirinya meski enggak ada angin badai. Ada kumis tipis di wajahnya, yang kurasa bertambah tebal sejak terakhir aku melihatnya—tapi tetap saja tipis.

Dia pakai hoodie tanpa lengan. Kausnya lengan pendek. Celananya selutut. Sial. Aku jadi minder karena merasa kedinginan sendiri.

Aku menelepon Rein. Selama menunggu, kukeluarkan jaket dari carrier. Rein segera datang, dan Kak Rangga menyuruh kami masuk mobil.

Kak Rangga duduk di kursi sopir. Pak Tama di sebelahnya. Di deretan kedua, Rein duduk di antara aku dan Bu De. Tas kami semua ada di deretan kursi paling belakang, bersama rantang dan tikar.

His RebelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang