Rein dan Kak Delon menyusul ke Taman Pintar, sementara aku duduk berteduh di bawah pepohonan, memandangi anak-anak yang menggunakan alat-alat peraga di sini. Deni sibuk menonton alat peraga untuk prinsip-prinsip hidraulika; terletak beberapa meter dariku, tapi masih bisa diawasi.
Kak Delon sudah terlihat lebih "hidup". Dia tersenyum jahil, seperti biasa, sambil mengangkat dua jari tanda peace, berkata, "Sori. Harusnya aku bilang dari awal," lalu duduk di sebelahku. Dia melihat Deni di kejauhan, di antara kerumunan. "Bocah itu udah santai lagi? Di toko oleh-oleh tadi, dia grogi banget. Berapa kali dia hampir nabrak orang. Tiap aku nyamperin dia, malah bilang gapapa sambil gugup, terus ngejauh."
"Dia sempat menabrak barang juga, Kak?" Mungkin Deni sibuk menyendiri—di keramaian—di bagian hidraulika karena gugup. "Harus ganti rugi?"
"Untungnya enggak."
Rein duduk di sisiku satunya, memeluk carrier-nya, ikut memandang ke arah Deni. "Dapat info baru?"
"Yeah. One thing: his life has too much drama."
Ponselku berdering. Nomor tidak dikenal. Aku memijat kening. Siapa lagi ini? Kuterima panggilan itu. Sapaan bersuara melengking, mirip suara Kak Nis—kawan Kak Delon yang kemarin kutemui. Tapi, aku tahu ini bukan dia.
Tante Fatma.
Kenapa pula dia menelepon aku? Anaknya kan Deni. Not me.
"River? Ini Tante Fatma, mamanya Deni. River? Halo?"
Betulan Tante Fatma. Sial. Telingaku, bertahanlah. Mari kita tunjukkan kalau kita pendengar yang sama pro-nya dengan Mama. "Oh, sori, Tante. Ada apa?"
"Tante baru selesai sarapan. Tadi sekalian ke bandara, terus nunggu pesawat papanya Deni landing dulu. Pada di mana sekarang? Tante mau ketemu Deni. Tante takut Deni malah cari cara kabur kalau Tante telepon ke dia. Jadi Tante minta nomor kamu ke mama kamu ...." and on and on. Tante Fatma masih mengoceh hal yang menurutku enggak terlalu worth it didengar. Ingat prinsipmu, River. Selama ada yang bicara, dengarkanlah.
Akhirnya dia sadar aku enggak merespons; dia memanggilku lagi.
"Kami di Taman Pintar, Tante." Aku melirik ke arah Deni. Dia masih di sana. "Deni ada di bagian hidraulika, kalau Tante cari dia. Aku perhatiin dari jauh."
Setelah tawar-menawar seperti Boleh kamu jemput Tante ke pintu masuk?, Boleh kamu foto Deni?, atau Boleh kamu bujuk Deni biar samperin Tante? yang semuanya kutolak tanpa basa-basi, Tante Fatma deal untuk mendatangi Deni sendiri.
Aku memperhatikan dari tempat dudukku. Tante Fatma datang beberapa menit kemudian. Dia perempuan kurus, berbadan kecil pendek—hanya 150 senti barangkali—yang tenggelam dalam balutan kerudung sepanjang paha dan gamis mengembang. Ekspresinya seolah minta dikasihani.
She's not alone. Ada pria paruh baya, bertubuh tinggi, agak gempal. Wajahnya punya raut yang keras, minim senyum, dan alis panjang yang tegak ala pendekar kungfu di cerita-cerita lama. Kutebak, dia papanya Deni. Segalak-galaknya raut wajah Papa, masih belum sampai setengah dari kegalakan wajah papa Deni.
Mereka tinggal tujuh meter dari Deni.
Lima meter.
Sepuluh langkah.
Lima langkah.
Dan Deni sadar kedua orang tuanya sudah ada di sebelahnya. Ekspresinya tidak terlihat jelas dari sini. Tapi aku bisa lihat mulutnya bergerak; mereka bersilat lidah. Suara keluarga itu cukup keras kelihatannya. Pengunjung lain yang ada di sekitar sana menonton adu debat mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Novela JuvenilTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...