"Anak itu butuh bantuan."
Ini kali ke-27 Rein bilang begitu dalam rentang waktu satu setengah jam terakhir. Aku yakin dia juga menghitung sudah berapa kali mengatakannya. Kurasa, ketimbang mengatakannya padaku, Rein lebih berusaha mengatakan itu pada diri sendiri. Padahal aku yakin, di dinding otak Rein, salah satu sarafnya sudah memahat tulisan itu sebesar pahatan wajah Gunung Rushmore.
"Dia memang perlu pertolongan. Makanya kita di sini." Aku menarik lengan Rein saat menaiki bus yang akan membawa kami ke kota Klaten. Sekarang ini, aku enggak peduli keadaan bus ini jauh lebih buruk daripada BST super nyaman yang kami naiki pagi tadi. Aku cuma ingin beristirahat sebentar. Beberapa menit melepaskan diri dari pemikiran tentang "Finding Deni". Oh. Wow. Seirama dengan salah satu film keluaran Pixar, "Finding Dory". What a coincidence ....
Begitu duduk, kuletakkan carrier di antara kakiku dan bangku depan. Rein hanya memeluk carrier-nya.
"Aku takut ketiduran, Riv."
Kutarik kepala Rein ke bahuku sambil tertawa kecil. "Then, sleep. Enggak perlu dibawa ribet. Kubangunkan kamu saat sampai di Klaten."
***
Solo di pagi hari memang bikin gerah.
Tapi Klaten di siang hari jauuuh lebih panas.
Aku rindu pada Bandungan yang adem.
Untungnya, Masjid Agung Al-Aqsa punya lumayan banyak pohon. Salah satunya di samping masjid. Di bawah bayangan pohon, ada tempat orang-orang bisa mencelupkan kaki ke kolam terapi ikan, seperti kata Rein tadi. Selagi menunggu Rein selesai salat, aku melepas sepatu dan duduk bersila di pinggir kolam, alih-alih membiarkan telapak kakiku diciumi ikan-ikan sebesar kecebong.
Kubaca ulang surat yang dititipkan Deni. Tapi, bagaimanapun tulisan itu hanya curhatan biasa. Tidak ada tulisan lain di kertas itu. Tidak ada kompartemen tersembunyi juga di kertasnya. Di kertas ... artinya di amplop barangkali ada sesuatu.
Aku periksa lagi amplopnya. Oh, ada tulisan dari pensil. Apa itu tulisannya? Hmm ... angka. Kubuka amplop dari atas; bagian yang disegel. A-ha! Nomor telepon. Kalau saja kubuka dari atas sejak awal, pasti langsung kelihatan.
Nomor itu langsung kutelepon. Nada dering pertama. Kedua. Ketiga. Dan akhirnya, tidak ada yang menerima panggilan.
Kutelepon lagi. Percobaan kedua yang lebih mujur. Diterima dengan pertanyaan halo, dengan siapa? Sambungan dimulai. Tapi suaranya .... enggak familier. Suara berat bapak-bapak, lebih berat dari suara Papa. "Aku River. Jadi, dengan siapa aku berbicara?"
Ada suara kresek-kresek, seperti ponsel buru-buru berpindah tangan. Say hi to Deni's voice. "Ri-River? Ka-kamu betulan ke Keraton Solo?"
Huh? Jadi dia enggak percaya aku bakal melakukan itu (untuknya)?
Rein kembali. Dia langsung mengangkat alis melihatku menelepon. Kudekatkan telunjuk ke bibirku sendiri, menyuruh diam. Jawaban darinya hanya anggukan, lalu dia duduk di sebelahku, memasukkan kaki ke dalam air kolam setelah menggulung ujung celana.
"Tadi iya. Sekarang di Masjid Al-Aqsa." Ini baru pukul setengah satu. "Kalau kamu betul-betul butuh pertolonganku untuk membawamu pulang tanpa dimarahi, temui aku secepatnya. Aku menunggu di sini sampai pukul setengah dua. Dan aku belum makan, jadi kumohon, mengertilah."
"Tunggu. Aku ke sana. Jangan menelepon lagi ke nomor ini."
Begitu saja, hubungan diputuskan. "Deni ke sini. Akhirnya dia yang mendatangi kita, bukan sebaliknya lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...