Keraton Surakarta Hadiningrat. Nuansa biru dengan aksen putih, terbalik dari warna rumah-rumah di Santorini (dominan putih beraksen biru). Ini hanya versi keraton Jawa, penuh ukiran kayu yang melengkung. Apalagi dengan cuaca cerah hari ini yang membuat gerah begitu kami tiba. Cocok dengan Santorini di pinggir laut.
And its facade (which facade, if you ask, sorry, I don't know) can lie. Ia enggak kelihatan tua, meski umurnya seingatku nyaris setua Perjanjian Giyanti.
Kelihatannya kami datang di waktu yang salah, atau memang aturannya saja yang begini, karena kami enggak boleh masuk. Di teras, ada sebuah papan putih yang diberdirikan, bertuliskan Batas Pengambilan Gambar.
"Jadi gimana?" Rein mendatangiku setelah dia bolak-balik memeriksa dari ujung ke ujung. Dari sebuah bangunan putih yang punya beberapa pintu biru, lalu bagian fasad yang penuh kayu ukiran di penyangga atapnya, hingga bangunan putih berpintu biru lain yang persis sama dengan bangunan pertama.
"Artinya apa yang kita cari bukan di dalam." Ini tempat pertama yang akan Deni datangi bila kabur mengikut keinginan hati. Dan dia tahu, aku akan mencari ke sini.
Seperti bicara dengan Rein tentang "Bandung". Itu keyword-nya. Selama menyangkut Bandung, dia bisa bercerita panjang lebar. Deni pun begitu. Sebut "Keraton Surakarta" dan Deni akan menceritakan segalanya. Karena dia terlalu cinta—atau malah terobsesi—dengan bangunan putih-biru di depanku ini.
"River, kebanyakan pemberontak itu pintar dan penuh keyakinan, ya?"
"Pemberontak?" Rein seharusnya enggak tahu soal Anak-Anak Pemberontak. Dia enggak tahu tentang aku di SMP. Dia enggak boleh tahu. Aku ... belum siap. Untuk menjelaskan segalanya.
"Kamu salah satunya. Kamu seorang pemberontak. Deni juga sama, menurut kesimpulanku terhadap ceritamu, walau dia enggak seperhitungan dan sedetail kamu. Kalian orang-orang yang dirantai, tapi berani menghancurkan rantainya meski itu melawan aturan dan kehormatan yang ada. Otak dan hati kalian yang melakukannya, dan setelah selama ini, aku baru sadar." Rein berhenti bicara. Kelihatan menimbang-nimbang cara menjelaskan sesuatu. "Tadi aku menguping pembicaraan orang-orang di sana tentang sejarah Kasunanan Surakarta. Kamu tahu kisahnya?"
How would I give a no? Itu adalah cerita kesukaan Deni yang selalu diulangnya. Meski ... kelihatannya aku tidak benar-benar tahu sampai ke detail.
Garis besarnya, Perjanjian Giyanti menyatakan bahwa wilayah Mataram terpecah dua; Kesultanan Yogyakarta (Mataram asli) di barat dan Kasunanan Surakarta di timur. Namun, Kasunanan Surakarta dianggap bukan penerus Kerajaan Mataram. Makanya hanya Kesultanan Yogyakarta yang seakan-akan masih berupa kerajaan, dan ia dianggap hingga sekarang, meski menurut Deni, beban Yogyakarta lebih berat dari Surakarta sendiri.
Wait. Beban karena ... dianggap? Surakarta yang seolah tidak dianggap?
Jadi itu alasan Deni selalu membicarakan Keraton Surakarta, tapi tidak pernah menyebut-nyebut tentang Keraton Yogyakarta. Padahal dia pernah bercerita tentang toko oleh-oleh di Yogyakarta.
Kisah dan desas-desus Keraton Yogyakarta ada banyak, mengingat mata yang melihatnya lebih banyak, sehingga mulut yang berbicara pun lebih banyak. Seperti kisah tentang Alun-Alun Lor, Pemandian Putri Keraton, dan kisah-kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut lainnya. Pilihan clue-nya menjadi terlalu luas, dan fokusnya pecah.
Tapi kisah yang akan dijelaskan pertama kali pada turis—pada aku—soal Keraton Surakarta hanya ada satu. Sejarahnya.
Aku menoleh pada Rein. Dia memandangku. Di matanya, there's a hope. And a fear. Aku tahu ketakutan apa itu.
Ketakutan mengingat bahwa Deni tidak benar-benar impulsif. Dia hanya kehilangan kesabaran untuk menunggu waktu yang tepat. Dia telah berniat kemari sejak lama. Kemungkinan dia pergi dengan izin atau tidak hanya 50:50. Sejak awal, sejak pertama kali bercerita tentangku perihal kesukaannya pada hal berbau antik dan Keraton Solo, rencana kabur sudah terpikir olehnya. Seolah dia hanya mempermainkanku dengan permintaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Rebel
Teen FictionTravel Series #2 His Rebel "Can I Trust You?" Begitu tiba di Bandara Jend. Ahmad Yani Semarang, Denias kabur sebagai bentuk pemberontakan pada orang tuanya. Tapi, bagi River, Deni bukan siapa-siapa selain anak dari klien sang ibu. Sampai akhirnya...