☆☆☆
Beradaptasi memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Awalnya, baik Alin, Nata maupun Resya kesulitan untuk membuka percakapan dengan para tetangga. Namun, perlahan-lahan mereka menjadi lebih akrab dan tidak lagi takut jika meminta bantuan.
Bahkan, kehamilan Alin pun sudah menjadi cerita lama yang berlalu begitu saja. Pertama kali, memang menjadi gosip hangat yang selalu diangkat kala Nata membeli sayur pada tukang sayur yang sering berkeliling di kompleks saat pagi. Namun, lama-kelamaan cerita itu menghilang. Mereka justru lebih sibuk membicarakan hal lain.
Alin juga tidak lagi sungkan menyapa. Dengan perut yang hampir memasuki 5 bulan, Alin memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan koas-nya. Bahkan, dia tidak mengikuti prosesi wisuda. Hanya Nata yang mengambil ijazahnya di kampus. Meskipun sempat dipertanyakan keberadaan Alin, untung saja ada pihak kampus yang mau membantu mereka.
"Kak, ngapain di luar? Udah sore," tegur Resya yang baru kembali dari kampus.
"Bentar, Sya. Kakak capek di dalam terus seharian. Lagian masih sore juga."
"Kakak mau gue temenin jalan-jalan?"
"Emang lo nggak capek?"
"Nggak, kok. Bentar, ya. Gue mau naruh tas di dalam dulu."
Beberapa menit kemudian, Resya keluar tanpa menggandeng bawaannya tadi. Dia menuntun Alin berjalan-jalan sore untuk menghilangkan kebosanan wanita hamil itu.
Ada hal yang sangat mereka syukuri. Kehamilan Alin tidak lantas menuntut untuk ngidam yang macam-macam. Bahkan dibulan ketiga, Alin tidak lagi merasa mual. Meskipun, Alin masih beluk diizinkan kedua adiknya untuk bekerja.
"Kak, lo nggak kangen sama Papa?"
"Kangen, lah. Sama Mama juga."
Resya memegang lengan Alin dan bersandar dibahunya.
"Kamu, tuh ketinggian tau!" gerutu Alin karena merasa kesusahan berjalan.
Resya menyengir dan menegakkan kepalanya.
"Gue kangen kita hidup lengkap. Nggak pa-pa kalau nggak punya uang. Yang penting kita bisa kumpul kayak dulu lagi."
Alin menghentikan langkahnya dan memegang bahu Resya. Dia mendapatkan tatapan Resya yang sama sekali penuh kejujuran. Ada kerinduan di dalam sana.
"Sya, Kakak juga kangen sama mereka. Tapi kakak tau satu hal, kita cuma punya satu kesempatan untuk menebus penyesalan. Yaitu, dengan melakukan yang terbaik di masa sekarang. Kalau aja, kejadian demi kejadian yang udah terjadi nggak ada, kita nggak akan sedekat sekarang. Mungkin, kakak masih Alin yang keras kepala dan nggak mau ngalah. Nata juga masih sibuk dengan dunianya. Kamu, masih jadi anak manja yang nggak mau berubah. Tapi karena kita dapat ujian, kita jadi pribadi yang lebih baik. Semoga aja, Papa bisa kumpul sama-sama lagi bareng kita. Juga, anak ini." Alin mengusap perutnya dan tersenyum.
Ternyata, ikhlas memang melegakan. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa.
"Iya, kak."
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan sampai tiba di sebuah lapangan. Di sana, ada anak-anak remaja yang sedang bermain bola. Ini pertama kali bagi Alin maupun Resya melihat pemandangan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan YANG TERSAYANG || Winwin (END)
Acak[Diikutkan dalam Writing Maraton An.Fight x Solis Publisher] Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, Winata Nara Winanda dituntut untuk menjadi adik yang patuh terhadap kakak tertua dan menjadi kakak yang penyayang terhadap adiknya. Tidak hanya itu...