☆☆☆
Kita bisa memanjangkan harapan, tetapi tidak bisa melawan takdir pencipta. Semua orang, punya kesempatan untuk berjuang, tetapi semesta tidak pernah memberi peringatan kapan perjuangan itu harus dihentikan.
Suara tangis mengiringi pemakaman Winara Nata Winanda. Anak tengah dari keluarga Cakra Adimas, mengembuskan napas terakhirnya di suatu malam. Perpisahan yang tiba-tiba, membuat semua orang menangis tak percaya.
Tidak ada pamit, yang ada hanya harapan-harapannya yang masih belum terwujud. Perjuangannya masih panjang, tetapi semesta lebih sayang. Nata pergi, untuk selama-lamanya. Menuju ketenangan, yang membuatnya menghentikan langkah untuk memperjuangkan keadilan.
"Nat, lo bilang ke gue kalau lo mau jadi pengacara. Lo bilang, lo masih pengen menegakkan keadilan. Papa lo masih belum dapatin itu. Tapi lihat lo sekarang? Lo bahkan nggak ninggalin pesan buat gue."
Tangis Luthfi pecah tepat di depan makam temannya, mungkin sahabatnya. Dia yang pertama kali mendapati tubuh Nata yang terbujur kaku di asrama. Percakapan malam itu, adalah akhir dari semuanya. Nata berbohong, soal dia yang akan mengecek kesehatan nanti. Dia juga berbohong tentang harapan-harapannya. Seolah-olah, menitipkan pesan untuk seseorang agar bisa melanjutkan langkah-langkahnya.
"Nat, kamu kenapa nggak pernah cerita sama Kakak? Selama ini, kamu selalu bilang nggak pa-pa. Selalu dengerin kakak dan Resya kalau ngeluh, tapi kamu nggak pernah ngasih kesempatan buat kita dengerin keluhanmu. Kakak baru aja belajar untuk menjadi kakak, tapi kamu juga nggak ngasih kesempatan buat kakak ngelakuin itu. Apa gini, cara kamu ngehukum kakak?"
Ucapan Alin membuat air mata orang-orang yang berada di sana mengalir semakin deras. Kecuali, Resya. Sejak semalam, Resya tidak menangis. Dia hanya duduk di samping jenazah Nata dengan wajah datar. Tidak da yang bisa menebak isi pikirannya. Namun yang pasti, semua orang tau bahwa perasaannya sangat hancur.
"Lin, kamu ikhlasin Nata, ya. Kasihan dia." Jefry yang sedari tadi berdiri di samping Resya, berjongkok dan mencoba menenangkan Alin.
Wanita itu pasti tidak nyaman berjongkok dengan keadaan perut yang membesar. Namun itu bukan masalah utama, karena perasaannya saat ini lebih hancur dari pada menahan ketidak nyamanan.
Di samping Alin, Luthfi masih menunduk dalam. Dia belum bisa percaya, bahwa semalam adalah percakapan terakhirnya dengan Nata.
"Lin, ayo," ajak Jefri memegang kedua bahu Alin.
Alin menatap ke samping dengan tatapan sendu.
"Nata udah nggak ada, Jef. Adik aku udah nggak ada. Dia ninggalin kita."
Jefry mengangguk dan membiarkan kepala Alin bersandar diceruk lehernya. Perasaannya juga hancur. Meskipun dia tidak dekat dengan Nata, tetapi seperti ada kehilangan yang besar dalam hatinya.
"Ini udah mau siang. Kalian mau sampai kapan di sini?" tanya Resya dengan nada tak suka.
Alin, Luthfi dan Jefry melihat ke arahnya. Namun, Resya mengabaikan mereka dan memilih lebih dulu pulang ke rumah.
"Gue benci sama lo, kak. Harusnya lo bilang kalau lo capek. Jangan tiba-tiba pergi kayak gini. Dasar pengecut!" ucap Resya sebelum benar-benar meninggalkan area pemakaman

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan YANG TERSAYANG || Winwin (END)
De Todo[Diikutkan dalam Writing Maraton An.Fight x Solis Publisher] Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, Winata Nara Winanda dituntut untuk menjadi adik yang patuh terhadap kakak tertua dan menjadi kakak yang penyayang terhadap adiknya. Tidak hanya itu...