☆☆☆
Dengan napas memburu, Nata berlari menyusuri trotoar. Jalanan yang cukup ramai, membuatnya beberapa kali harus mendapat ucapan kasar dari pengendara yang hampir saja menabraknya. Wajar saja pengendara itu kesal. Nata menyeberang tanpa melihat keadaan, bahkan dia sudah dua kali menyeberang saat lampu dalam keadaan hijau.
Meskipun jarak antara kampus dan kantor kejaksaan tidak terlalu jauh, namun membuat Nata cukup kelelahan. Dia memutuskan untuk berjalan kaki, alih-alih menghabiskan uangnya untuk naik angkot.
Untung saja, Nata tidak memiliki jadwal lain setelah bimbingan sehingga dia bisa menemani Alin mengikuti sidang pertama Ayahnya. Sementara Resya, katanya akan menyusul nanti setelah urusan terkait beberapa berkas kuliah selesai.
Nata tiba di depan gedung kejaksaan dengan peluh yang membasahi kemeja kotak-kotaknya. Sejenak berhenti di depan pagar untuk mengatur nafasnya yang tak beraturan. Nata meletakkan kedua tangannya di atas lutut mencoba menetralisir degupan jantung yang berdetak cepat karena dipaksa berlari.
Saat sedang sibuk mengatur lairan nafasnya, sebuah mobil hitam melewati Nata masuk ke dalam halaman kejaksaan. Tepat di depan tangga yang mengarah ke dalam gedung, seorang pria keluar menggunakan rompi berwarna oranye dengan tulisan 'TAHANAN KPK' di belakangnya. Dalam waktu sekejap, pria itu dikerubungi wartawan yang sejak tadi sudah menunggu di depan tangga gedung kejaksaan.
Jumlah wartawan tidak sedikit, ditambah pendemo yang entah datang dari mana langsung ikut mengerubungi tersangka, membuat petugas kesulitan menanganinya. Satu telur busuk tepat mengenai kepala tersangka, diikuti telur-telur lain yang juga ikut mengotori petugas yang berusaha melindunginya. Tidak hanya itu, bahkan ada yang sengaja membawa beberapa botol air comberan dan mengguyurkannya pada tersangka.
Amarah warga yang melihat kedatangan seorang pelaku korupsi, seharusnya diangguki Nata. Seperti dia yang biasanya berada di barisan depan menentang ketidak adilan, tetapi kali ini Nata hanya bisa diam.
Darahnya mendidih menahan emosi yang ingin sekali diluapkan pada apapun. Namun, entah kenapa tubuhnya terasa kaku. Hatinya ingin melindungi sang Ayah yang diperlakukan tidak manusiawi, tapi pikirannya menentang untuk mengambil tindakan. Guratan kecewa terpampang jelas di wajahnya. Kecewa, mengapa harus sang Ayah yang menjadi tersangka korupsi disaat dia dengan begitu gagah menyuarakan untuk menghukum mati para pelakunya?
"Berhenti!" pekik sorang wanita muda melindungi tubuh Cakra.
"Kak Alin?" Nata membelalakkan terkejut melihat keberanian Alin yang masuk dalam kerumunan dan melindungi tubuh ayahnya.
Mungkin, salah satu alasan kenapa kedua orang tuanya cenderung lebih menyayangi Alin dan Resya adalah karena kepedulian mereka yang tampak sangat nyata. Resya yang terang-terangan merawat sang Ibu ketika sakit dan sangat memperhatikan pola makanya. Sementara Alin, bisa dilihat dengan caranya yang tidak pengecut seperti Nata.
Alin yang biasanya akan meneriaki siapa saja yang mengotori bajunya, kini rela menjadi tameng bagi sang ayah dan rela semua tubuhnya terkena berbagai macam jenis kotoran. Untuk kesekian kalinya, Nata merasa bodoh karena berpikir bahwa kedua orang tuanya tidak adil. Nyatanya, Nata hanyalah anak yang sama sekali kebingungan untuk menunjukkan kepedulian.
"Hentikan! Kalian ini apa-apaan!" tegur seorang pria yang sepertinya memiliki jabatan tinggi, membuat semua orang terdiam dan menghentikan lemparan.
Di belakangnya, beberapa petugas keluar dan langsung menangani wartawan serta demonstran. Mereka dipaksa bubar untuk menghindari kericuhan selama persidangan. Umpatan mengiringi pembubaran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan YANG TERSAYANG || Winwin (END)
Acak[Diikutkan dalam Writing Maraton An.Fight x Solis Publisher] Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, Winata Nara Winanda dituntut untuk menjadi adik yang patuh terhadap kakak tertua dan menjadi kakak yang penyayang terhadap adiknya. Tidak hanya itu...