☆☆☆
Hari semakin larut. Alin, Nata dan Resya memutuskan untuk langsung membawa jenazah pulang ke rumah. Pemulangan jenazah dilakukan dengan menggunakan ambulans.
Alin dan Resya mendampingi jenazah sang ibu, sementara Nata pulang menggunakan motor scoopy-nya.
Saat dalam perjalanan, Alin teringat dengan Ayahnya yang belum juga memberi kabar. Dia segera mengambil ponsel dari dalam saku dan mengecek pesan yang dikirimkan beberapa jam lalu. Ternyata, pesannya masih ceklis satu.
Alin menghubungi Ayahnya beberapa kali, namun nomornya tidak aktif.
"Nomor Papa, kok, nggak aktif, ya."
"Lo udah ngirim pesan, kan?"
"Udah, tapi ceklis satu. Nomornya juga nggak aktif."
"Coba lagi, aja."
Alin menuruti perkataan Resya untuk menghubungi lagi. Sampai akhirnya dia menyerah dan menggerutu, "Papa kemana, sih!"
"Nanti gue susulin ke kantor Papa aja," sahut Resya.
"Nggak. Lo di rumah aja, bantuin Nata. Biar gue yang nyusulin Papa."
"Tapi lo masih kelihatan lemas, Kak."
"Gue udah nggak apa-apa."
"Tapi–"
"Nggak ada tapi-tapian, biar gue yang nyusulin Papa."
Resya mengalah dan mengangguk pasrah. Alin dan Resya kembali terdiam memandangi jenazah sang ibu.
"Mama tidurnya tenang, ya. Kayaknya, Mama lagi nyampein pesan gue sama Tuhan, terus Tuhan iya-in. Makannya Mama senyum," ucap Alin mencoba menghibur diri.
Resya mengangguk dan berusaha menahan air matanya. Namun, satu tetes berhasil lolos dari pelupuknya.
Alin yang menyadari hal itu, langsung memegang lengan Resya pelan dan berucap, "Ikhlasin Mama, ya, Sya."
Resya hanya mengangguk dan mengahapus air matanya. Dia sudah berjanji untuk tersenyum di depan sang ibu agar ibunya tidak khawatir meninggalkan mereka.
•°•°•
Mobil ambulans memasuki pekarangan rumah. Suasana rumah tampak ramai dengan kedatangan tetangga dan para kerabat dekat.
Nata yang saat itu sedang sibuk menyambut para tamu yang hadir, keluar dari rumah dengan mengenakan setelan kemeja hitam dan celana kain berwarna sama. Tanpa mengenakan sandal, Nata membantu para petugas untuk menurunkan jenazah sang ibu.
Alin dan Resya, turun setelah jenazah keluar dari mobil. Suara tangis yang mulai terdengar dari para kerabat, membuat Alin tidak lagi mampu menahan air matanya. Tangisnya seketika pecah. Resya langsung memeluk sang kakak dan berusaha menenangkannya.
"Udah, ya, kak." ucap Resya berusaha tegar.
Persaudaraan mereka sangat terasa ketika tidak ada lagi topangan dari kedua orang tua. Sama-sama saling menguatkan disaat yang satu terlihat lemah dan sulit menerima kanyataan.
Setelah Alin cukup tenang, Resya menuntun kakaknya memasuki rumah.
Ruang keluarga sudah dikosongkan dan dialas menggunakan karpet. Tubuh Wanda dibaringkan di tengah-tengah, ditutupi kain batik kecuali bagian wajah. Beberapa kerabat dekat mendekati jenazah dan mengucapkan kata-kata perpisahan.
Alin, Nata dan Resya duduk di samping tubuh sang ibu dengan tatapan sendu. Beberapa kali mereka berusaha tersenyum saat ada yang berkata, "Sabar, ya."
Resya mundur untuk memberi ruang pada tiga orang kerabat yang baru datang. Dia tidak sengaja mendengar percakapan dua orang wanita paruh baya yang saling berbisik di bagian belakang.
![](https://img.wattpad.com/cover/300153342-288-k919798.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan YANG TERSAYANG || Winwin (END)
Acak[Diikutkan dalam Writing Maraton An.Fight x Solis Publisher] Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, Winata Nara Winanda dituntut untuk menjadi adik yang patuh terhadap kakak tertua dan menjadi kakak yang penyayang terhadap adiknya. Tidak hanya itu...