HENING.
Jasmin sibuk bermain dengan Acil, kucing Jendra, di lantai kamar Jendra. Sedangkan Jendra, sibuk dengan pikirannya sendiri seraya membolak-balik buku pelajaran milik adik sepupunya yang masih duduk di bangku kelas tiga SD.
Kalau kalian berpikir Jendra hanya menganggap perkataan Jasmin tentang perasaannya tempo hari hanya sebagai angin lewat, maka kalian salah. Nyatanya lelaki itu selalu memikirkan perkataan Jasmin. Layaknya kaset rusak, perkataan Jasmin sore itu terus berulang berkali-kali di dalam kepalanya.
Dan kalau boleh digambarkan dengan kata-kata, isi kepala Jendra saat ini terlihat sangat ramai, berisik, dan tidak kondusif. Apalagi ketika sosok yang dipikirkan oleh Jendra kini ada di hadapannya, memasang tampang polos seperti tidak terjadi apa-apa.
"Jasmin." panggil Jendra, ia meletakan buku pelajaran milik adik sepupunya, kemudian bersandar pada bagian bawah tempat tidurnya.
Jasmin hanya mengangkat kepalanya dan menatap Jendra dengan senyuman yang melekat. Senyum karena sedang bermain dengan Acil.
"Tentang kemarin di mobil, boleh gue bahas?"
Perlahan senyum Jasmin memudar. Acil yang awalnya terduduk di pangkuan Jasmin dengan tenang, malah melompat keluar dari pangkuan Jasmin dan pergi begitu saja, membuat Jasmin tidak memiliki alasan untuk tidak menyahuti perkataan Jendra dengan serius kali ini.
"Boleh." jawab Jasmin pada akhirnya.
"Lo beneran suka sama gue?"
"Aku keliatan bercanda pas bilang itu ke kamu?"
"Bukan keliatan bercanda, tapi keliatan terlalu santai. Jadi gue bingung mau mengartikan perkataan lo itu kaya gimana."
"Perlu aku bilang lagi sekarang?" tanya Jasmin menawarkan diri.
"Eh, gausah," balas Jendra cepat. "Gue gatau lo orangnya selurus itu kalau tentang perasaan. Agak kaget dikit ...."
"Kalau kamu merasa terbebani sama perasaanku, kamu bisa kok lupain apa yang aku bilang ke kamu. Aku gak masalah sama sekali, aku hanya lagi yakinin diri aku sendiri, kalau aku ternyata bisa jatuh cinta lagi sama orang lain setelah insiden Gion," jelas Jasmin. "Aku tau kamu orangnya baik ke semua orang, jadi kesalahpahaman aku dalam menilai sikap kamu itu, bisa kamu jadiin alasan buat nolak aku."
Jendra tidak langsung menjawab perkataan Jasmin.
Jendra memang sudah jatuh cinta pada Jasmin lebih dulu bahkan sebelum Jasmin. Namun entah mengapa, ini terasa tidak tepat bagi Jendra. Ada beberapa hal yang mengganjal di hati Jendra untuk melanjutkan hubungannya dengan Jasmin.
"Lo maunya kita gimana?" tanya Jendra.
"Kenapa nanya aku? Aku aja gak tau perasaan kamu ke aku kaya gimana. Aku gak berhak buat mutusin gimana kita kedepannya, Jendra."
"Oh iya, gue belom bilang ya kalau gue juga suka sama lo. Dari lama." balas Jendra pelan.
Jasmin memalingkan wajah untuk menyamarkan rasa salah tingkahnya yang terlihat dengan sangat jelas.
Jendra dan segala kejutannya.
"Tapi," lanjut Jendra, membuat Jasmin kembali memfokuskan atensinya pada Jendra. "Untuk sekarang, gue maunya kita tetep begini Jas."
"Begini?" tanya Jasmin.
"Gue belum mau keluar dari zona nyaman kita. Kalau kita pacaran, berarti ada beberapa hal yang harus kita rubah. Gue belum siap Jas untuk itu. Tapi kalau boleh egois, gue masih tetep pengen ngabisin waktu sama lo. Gue pengen sama lo terus, tanpa hubungan untuk saat ini. Boleh?"
Untuk sejenak, Jasmin tidak menjawab.
Jasmin bukan tipe perempuan yang selalu menuntut sebuah ikatan hubungan. Namun kedepannya, Jasmin juga akan merasa kesulitan untuk memperlakukan Jendra sebagaimana porsinya, jika tidak memiliki sebuah status. Apalagi ketika Jasmin tau perasaan Jendra padanya.
Pada intinya, Jasmin juga hanya ingin selalu bersama dengan Jendra apapun kondisinya.
"Oke. Aku setuju."
Jendra menatap Jasmin lama, seolah menunggu gadis itu mengatakan sesuatu yang lebih panjang dibandingkan tiga kata itu.
"Aku gak masalah sama status. Aku cuma pengen kamu tetep bareng sama aku. Perasaan kita kesannya juga terlalu cepat, aku takut kalau dilanjut malah gak sesuai ekspetasi. Jadi ... Ayo tetep kaya gini sampai batas waktu yang gak kita berdua tau Jen."
Jendra tersenyum mendengarnya.
"Jas, waktu ospek hari pertama aku selalu bantuin kamu, kan?" tanya Jendra dengan senyum yang merekah. "Tolong kedepannya, lebih andelin aku. Aku suka kamu repotin. I've said this for many times, but i swear, i'll never get tired if it's you."
Jendra kini bangkit, berjalan mendekat, kemudian duduk tepat dihadapan Jasmin. Lelaki itu tersenyum lebar, benar-benar lebar karena merasa lega bisa meluruskan pendapatnya dengan gadis pujaannya. Jendra kini mendekatkan wajahnya pada wajah Jasmin, kemudan berbisik dengan pelan.
"I like you, Jasmin si gampang diculik."
Oh no, Jendra using aku-kamu, and that's the cutest things that Jasmin ever know.
___"Lo berdua kenapa dah cengar-cengir mulu dari tadi? Jadian ya?" tanya Jihan santai.
"Ngaco lu, yang bener-bener aja napa kalo ngomong." balas Jendra sewot.
"Yeee kok marah. Orang cuma nanya," sahut Jihan tidak mau kalah. "Minggu kemarin pada abis dari puncak ya? Acara apaan tuh? Tolong yang jawab Jasmin aja, gue gedek ngomong sama Jendra."
Jasmin tertawa sebelum menjawab, "Acara iseng panit Mufest kemarin Han."
"Tau gitu gue ikutan panit ya, biar bisa ke puncak rame-rame."
"Ke puncak sendiri aja sih, jangan kaya orang susah." kata Jendra.
"Eh mulut lo ya jangan kurang ajar, lo tau gak gue anti banget ke puncak sendirian? Alesannya karena dulu first date gue sama Harfi kesana anjirrrr."
"Dih, terus nyambungnya apa?"
"Gak ada sih, tapi yaudah intinya gue gamau ke puncak sendirian." keluh Jihan.
"Bahas Harfi, itu gimana lo jadinya sama dia? Beneran putus?" tanya Jendra kali ini berniat untuk serius.
Jihan mengangguk sebagai balasan. "Dunia gue sama dunia dia udah beda Jen. Kalau gue egois dan maksa buat tetep pacaran, gue malah kasian sama Harfi. Gue gak bisa terus terusan nuntut dia buat cepet balik. Intinya semua keputusan gue itu karena gue sayang sama Harfi."
"Iya dah si paling mencintai tapi tidak harus memiliki." ledek Jendra.
Melihat Jendra yang kini dapat berbicara dengan Jihan secara santai, Jasmin diam-diam merasa bersyukur. Dari awal kedekatannya dengan Jendra, yang selalu membuat Jasmin khawatir adalah perasaan Jendra kepada Jihan. Namun melihat interaksi Jendra dan Jihan hari ini, Jasmin lega.
"Kamu kelas jam berapa?" tanya Jendra tiba-tiba saja pada Jasmin.
"Tiga puluh menit lagi."
"Yaudah aku anter ayo."
"Ih tuh kan pake aku-kamu, fix pacaran ya lo berdua."
"Bawel lo." balas Jendra seraya bangkit dan menyampirkan tasnya di bahu. "Ayo Jas, nanti kamu kesiangan."
"Aku duluan ya Jihan." pamit Jasmin.
"Okey, hati-hati ya."
Jasmin ikut bangkit dan berjalan menyusuli Jendra yang sudah berjalan lebih dulu. Ketika mereka sudah berjalan bersisian, Jendra menarik pergelangan tangan Jasmin, menyuruh gadis itu untuk mendekat, kemudian menautkan tangannya dengan tangan Jasmin.
"Abis kamu kelas enaknya makan apa ya?"
Hubungan yang tidak jelas arahnya ini, ternyata tidak buruk juga.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
[PROSES REVISI] Jangan
FanfictionJangan takut jatuh cinta lagi, apalagi kalau itu bersama Rajendra. ©bcnzie11 2021