[Intermezzo] Ketika Rajendra Marah

401 75 12
                                    

Selama satu tahun menghabiskan waktu bersama Jendra, aku tidak pernah melihat dia marah dan meninggikan intonasi suaranya kepadaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selama satu tahun menghabiskan waktu bersama Jendra, aku tidak pernah melihat dia marah dan meninggikan intonasi suaranya kepadaku. Padahal, aku merasa hubungan kami tidak selalu mulus. Ada beberapa kesempatan yang memungkinkan untuk Jendra marah, tapi tidak. Dia selalu mengatakan berulang-ulang kali, kalau dia tidak bisa marah kepadaku, entah karena apa.

Sampai tiba malam dimana akhirnya Jendra marah. Saat itu aku sedang berada di cafe dekat kampus, mengerjakan tugas kelompok dengan kondisi ponsel yang mati karena kehabisan baterai, di jam hampir tengah malam.

Aku pikir, Jendra tidak akan mencariku mengingat bahwa ia sendiri memang sedang sibuk dengan tugas-tugasnya. Namun, ketika dia tiba-tiba terlihat di halaman parkir cafe dengan motor matic jagoannya dan wajah marah, aku segera berjalan keluar cafe dan menghampirinya dengan seribu pertanyaan yang ada di dalam kepala.

"Kamu ngapain ada disini?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Kamu yang ngapain ada disini," balasnya cepat dengan nada yang tidak bersahabat. "Kenapa jam segini kamu masih ada diluar dengan kondisi hape mati? Kamu gak bilang ke aku kalau kamu mau pergi sampai selarut ini, yang bener aja Jasmin, kamu ngapain?"

Aku merasa agak terkejut mendengar Jendra yang langsung berkata dengan nada seperti itu. Raut wajahnya juga sangat mengambarkan bahwa dia sama sekali tidak senang dengan kondisi saat ini.

"Iya hapeku mati, aku gak bawa casan. Aku gak kabarin kamu karena aku kira kamu juga lagi sibuk."

"Emang selama kita pacaran aku pernah ngelarang kamu buat ngabarin aku? Apalagi kalau kamu mau keluar?"

"Bukan begitu maksudnya, aku cuma takut ganggu kamu."

"Apaan sih? Lagi nyari alesan atau gimana?" tanya Jendra bingung.

"Aku gak cari alasan. Emang bener hapeku mati. Aku gak kabarin kamu karena kamu juga lagi sibuk. Aku lagi kerja kelompok Jendra."

"Sampai selarut ini?" ulang Jendra seraya menunjuk langit yang sudah gelap. "Kamu tau gak sih, bahaya apa yang bisa terjadi kalau kamu balik sendiri jam segini? Dan kamu gak kabarin aku. Kalau terjadi apa-apa terus aku taunya kamu baik-baik aja gimana?"

"Kamu marah?"

"Kurang jelas? Apa aku perlu teriak-teriak supaya kelihatan marah?"

Teman-temanku terlihat mencuri pandang kearahku dan Jendra. Mereka mungkin bertanya-tanya mengapa aku tidak segera kembali masuk ke dalam cafe untuk melanjutkan diskusi kami.

"Jen, aku lagi kerja kelompok. Mungkin sebentar lagi selesai. Kamu mau nunggu aku sebentar? Nanti kita sambung obrolan kita ini." tawarku.

"Aku tunggu sini." balas Jendra.

"Di dalem maksudku."

"Gak. Aku disini. Sengaja supaya kamu gak makin lama."

Aku menghela nafas pelan. "Oke. Aku masuk dulu."

[PROSES REVISI] JanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang