- Talk to me

352 74 9
                                    

JENDRA melirik Jasmin, menunggu gadis itu memberikan sebuah balasan. Setelah berdiri kurang lebih tiga menit di depan kamar Jihan, Jasmin akhirnya menyerah. Dia kini berjalan menghampiri Jendra dan menggeleng pelan.

"Gak bisa. Seminggu ini aku bener-bener gak ngobrol sama dia." keluh Jasmin.

"Oke, biarin aja dia mau ngapain. Terserah. Aku juga udah capek ngurusinnya. Biar nanti aku lapor abang-abangnya aja." jawab Jendra kesal. "Makasih ya Jasmin udah bantu."

"Gak masalah. Jihan juga temenku. Aku khawatir sama dia." balas Jasmin. "Tapi, apa gak sebaiknya kamu yang ngomong sama Jihan?"

Jendra tidak menjawab.

Perihal obrolannya dengan Harfi seminggu yang lalu, Jendra menutupnya dengan rapat. Bahkan Jasmin pun tidak tau soal itu. Alasannya? Jendra hanya tidak suka, dan Jendra yakin akan ada kejadian tidak mengenakan kedepannya jika fakta itu terkuak lebih dulu.

"Aku gatau mau ngomong apa sama dia."

"Tapi bukannya kamu yang paling tau soal hubungan Jihan sama cowoknya?"

"Tapi bukan urusanku."

Jasmin menghela nafasnya pelan. Benar. Jendra ada benarnya.

"Yaudah ...."

Jasmin pikir, setelah dirinya setuju dengan ucapan Jendra, lelaki itu akan segera pamit untuk pergi karena urusannya sudah selesai. Namun, apa yang terjadi selanjutnya malah membuat Jasmin semakin merapatkan bibirnya. Tidak berani untuk berkata-kata. Jendra terlihat marah.

Jendra berjalan mendekati pintu kamar Jihan, dan berdiri tepat di hadapan pintu itu. Sebelum mulai berbicara, Jendra kembali melirik Jasmin, dan berkata.

"Tapi setidaknya aku coba gertak dia dulu. Kamu bener Jas, yang paling tau hubungan mereka ya aku." ucap Jendra sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar Jihan.

"Jihan, buka. Ayo ngobrol."

Tidak ada balasan. Persis seperti apa yang dilakulan oleh Jasmin sebelumnya.

Jendra mengeraskan rahangnya. Mencoba untuk sabar.

"Cukup bersikap kaya anak kecil yang baru jatuh cinta. Keluar sekarang atau gue beneran bilang tentang kondisi lo sekarang ke Bang Juan," ancam Jendra. "Lo tau gak? Lo nyusahin gue, nyusahin Raga, nyusahin Jasmin. Emang lo pikir kalau lo galau kaya gini, hubungan lo sama Harfi bakalan membaik?"

"Inget Han, yang mutusin Harfi elu sendiri. Yang bikin Harfi pergi ke Surabaya ya elu juga. Terus sekarang kalau Harfi punya cewek baru, artinya dia selingkuh gitu? Ya enggak lah, lo sama dia aja udah putus dari beberapa bulan yang lalu. Sekarang lo sadar diri aja deh, lo juga salah disini." lanjut Jendra.

Jihan kini membuka pintu kamarnya, menatap Jendra dengan tatapan marah, lalu berteriak.

"Lo tau apa sih sampai bisa menghakimi gue kaya gitu? Hah?"

"Gue tau apa?" ulang Jendra. "Oke gue gak tau apa-apa soal lo dan Harfi. Tapi gak inget? Lo dan Harfi sendiri yang selalu bawa-bawa gue di hubungan lo berdua. Sekarang gue marah karena merasa muak sama lo dan Harfi, salah?" balas Jendra.

"Gue hanya merasa gak adil, Jen. Gue juga gak pernah minta perhatian lo, Jasmin, atau Raga. Cukup tinggalin gue sendiri, gak bisa?" tanya Jihan dengan suara yang mulai merendah.

"Gak adil?" ulang Jendra dengan senyuman meledek. "Apanya yang gak adil? Karena dia udah berhasil lupain lo, tapi lo belum berhasil?"

Jihan tidak menjawab.

"Han gue kasih tau aja ya, mending lo cari cowok lain sebelum lo nyesel sama pilihan lo untuk tetep suka sama Harfi," ucap Jendra dengan nada rendah. "Dan saran gue, lo harus mulai belajar buat menyikapi Harfi dari sekarang."

[PROSES REVISI] JanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang