4. Peluk-pelukan

1.5K 153 2
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

•••

Tegapnya punggung yang senantiasa ia pandang itu sama sekali tak bergerak secenti pun. Lak-laki berkemeja putih dengan sarung hitam yang melekat di tubuhnya begitu khusyuk saat melakukan pendekatan kepada sang pencipta.

Lirihan doa seakan begitu memuja di telinga nya.

Salah satunya....

Ya Allah, bimbinglah rumah tangga kami dengan ridha-Mu.

Rumah tangga?

Pantaskah Airin mendapat suami sebaik dia?

Selepas mengusap wajahnya dengan tangan, Ali berbalik badan. Mengerutkan kening saat istrinya hanya menatap dalam diam.

"Cium."

Airin yang gagal fokus karena mendengar seruan Ali pun dia menciumnya di pipi. Sedangkan tubuh Ali seketika membeku, pasalnya baru pertama kali ini Airin lah yang memulai kontak fisik dengannya.

"Padahal yang saya tuju kamunya cium tangan, bukan pipi," beber Ali membenarkan yang membuat Airin menjadi salah tingkah.

"Tapi gapapa, malah jadi bonus buat saya."

Ali semakin merapat pada tubuh istrinya. "Saya mau dengar dong doa kamu apa aja."

Melihat Airin menggeleng kecil, Ali memasang ekspresi seolah kecewa. Sedangkan Airin tidak mempedulikan dengan hal itu, dia malah merasa risih ketika Ali semakin mendekat padanya. Bukan risih karena tidak suka, tapi dia merasa tak pantas saja bila berdekatan dengan pria seperti Ali.

"Kenapa kamu selalu menjauh?" Nada Ali berubah datar.

Lama terdiam akan pertanyaannya, Airin berusaha mengontrol deru nafas yang kian memberat.

"Seharusnya saya yang menanyakan kenapa kamu masih mau dengan perempuan hina seperti saya ini?"

Ali menatap tajam wanitanya. "Dengan kamu, hidup saya jauh lebih sempurna, kamulah yang menyempurnakan hidup saya."

"Bohong," kilah Airin.

"Apa yang membuat mu berbicara seperti itu, ya zaujati?"

Merasa malu untuk berbicara, Airin akhirnya menutup wajahnya dengan tangan sambil bergumam. "Hingga saat ini saja kamu tidak pernah meminta hak sebagai suami."

Ungkapan yang menggemparkan di telinganya membuat spot jantung Ali terasa terbakar seketika.

"Apa karena kamu jijik dengan saya? Wanita berdosa nan munafik seperti saya memang tidak pantas mendapatkan keistimewaan dari siapapun."

"Siapa yang sudah menghasut mu?"

"Katakan," pungkas Ali dengan raut wajah begitu serius.

Airin tidak berani menatap Ali, dia memalingkan wajahnya dengan bahu yang bergetar.

"Tidak ada."

Meredam nafasnya yang tidak stabil, Ali menangkup wajah istrinya. Tatapan penuh kesakitan dapat ia lihat, membuatnya iba untuk tidak melanjutkan perihal tadi.

ALI HAZBI (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang