24. Jangan Pergi

101 9 1
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

•••

Suasana mencekam antara kakak beradik berbeda darah itu melayangkan tatapan tajam satu sama lain. Meski begitu keduanya tetap tenang, tidak ada kontak fisik yang menimbulkan luka.

Ilegar menunggu respon kakaknya. Menyilangkan kakinya dengan gaya pongah, seperti boss besar.

"Bagaimana? Ingin kehilangan istri atau hartamu, Kakak?"

Kepuasan dunia memang tidak akan cukup jika mereka terus saja merasa kekurangan. Manusia saling berlomba-lomba, meraih kekuasaan yang mereka inginkan. Dan jika saja mereka sudah terombang-ambing dengan kegiatannya, maka Tuhan lah menjadi salah satunya jalan mengadu. Namun ketika kenikmatan itu sudah tercapai, mereka lalai. Miris, kelahirannya sungguh berada di akhir zaman.

"Istri saya bukan pilihan. Dan kamu menanyakan hal yang salah kepada saya. Tentu saja saya akan menjaga istri saya." Ali membalasnya telak.

Tiba-tiba saja Ilegar mendatarkan wajahnya. "Pilihan mu cukup bagus, Kak."

"Tujuan mu hanya untuk mengambil harta tak seberapa itu?"

Ilegar membuang puntung rokok yang kesekian kalinya, dia menatap kakaknya dengan ekspresi tak terbaca.

"Balas dendam."

"Karena Athar sialan itu saya tidak bisa mendapatkan kesenangan lagi. Sumber mata uang saya hilang dan harus merawat pria tua yang sakit-sakitan. Hidup susah terlalu menjengkelkan, saya tidak menyukai itu," dengus Ilegar.

"Tapi sepertinya balas dendam tidak akan saya lakukan. Terlebih tanpa merebut paksa harta mu pun saya sudah mendapatkannya dengan mudah."

Kedua alis Ali kian menukik, menelisik raut wajah Ilegar yang sama persis seperti ayahnya. Walau sudah bertahun-tahun lamanya Ali tak berjumpa dengan dia, tapi ingatan ia masih sangat tajam.

"Apa dia yang menyuruhmu?" tanya Ali berubah sedih. Jika memang begitu, ayahnya tahu tentang keadaannya. Tapi bukan untuk mencari dan membawa nya pergi, dia malah berniat untuk balas dendam. Ali tidak bisa menyangka akan hal itu.

Kepala Ilegar menggeleng tak setuju. "Pria itu sudah bau tanah asal Kakak tahu. Dosanya sudah menumpuk bak gunung, jadi mana mungkin dia masih bisa berfikir begitu. Bisa-bisa saat nafasnya berhenti dia langsung dilemparkan ke neraka."

Sebenarnya Ali begitu risih mendengar Ilegar mengucapkan kata 'Kakak' yang dia tujukan padanya.

"Lalu."

"Ya ini karena keinginan saya sendiri. Mendengar bahwa saya bukan satu-satunya anak dia, saya pun mencari tahu. Dan dugaan saya benar, saya dan ibu saya tidak menerima sepeser warisan pun yang ternyata pria tua itu berikan semuanya padamu, cih." Ilegar mendecih, menatap sinis Ali yang hanya melihatnya merasa muak.

"Satu tujuan mu memang itu. Tapi kamu salah besar telah menjadikan adikku sebagai bahan adu domba, terlebih dia sekarang mengandung anakmu," pungkas Ali menggertak nya.

Ilegar tertawa kecil. Lucu sekali.

"Tentu saja bukan saya, kakak. Teman saya lah dalangnya."

*****

Hujan

Kondisi yang tepat untuk merenungi nasib. Ditemani rintik-rintik air yang membasahi tanah, pun susu coklat yang menemaninya sukses membuat perempuan berkerudung Rabbani semakin menyelam dalam kesedihannya.

Mengingat kata kerudung. Airin sangat menyukai brand lokal milik negaranya ini. Bahan nya adem dan juga tidak mudah sobek. Meski sedikit lusuh akibat jarang ia setrika akhir-akhir ini, Airin tetap nyaman. Logo khas Rabbani yang berada di pet nya tidak tebal dan juga tidak tipis. Di bagian tengah-tengah jahitan bawah pun ada, semakin menyala saja kerudungnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALI HAZBI (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang