20. Dua Janin

879 84 6
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

•••

Dalam perjalanan menuju ndalem Airin tertidur di kursi belakang sambil kakinya selonjoran meski badannya agak membungkuk. Dia lelah sekali, selain pergi untuk makan mie ayam, Ali malah mengajaknya berkeliling pasar malam. Pria itu memang tidak waras, istrinya baru pulang dari rumah sakit sudah di ajak pergi terlalu lama di lingkungan luar.

Tapi tak ayal juga dirinya menikmati kebersamaan dengan Ali, kapan lagi kan pria anti sosial itu bisa diajak mau pergi di situasi ramai begitu. Bahkan sangking menahan kantuk Airin masih menggenggam permen kapas yang sebentar lagi akan jatuh. Dia seperti biasa, menampilkan sikap manja pada Ali agar pria itu mau membelikannya.

Ali melirik dari kaca mobil, ada raut wajah bersalah di sana. Namun dia yang memang tidak suka tempat ramai tergoda dengan pasar malam, hatinya begitu menginginkan naik biang lala bersama istrinya. Momen abadi pun tak lupa Ali jepret dalam galeri handphone.

Dengan hati-hati Ali mengambil permen kapas di tangan Airin. Beberapa kendaraan pun ikut berhenti karena memang lampu lalu lintas sedang berganti warna merah. Ali mengelus telapak tangan Airin, dia membuka jasnya, menyampirkan agar istrinya tidak kedinginan walau AC mobil sengaja dia matikan.

Satu notif muncul di layar handphonenya saat Ali akan mengabadikan momen Airin tertidur begitu imut.

Mas, kok belum pulang?

Ali mencengkeram benda mati itu cukup kuat, urat di kubu tangannya bahkan terlihat jelas. Dia sedang fokus berkendara, Ali harus tenang.

"Astaghfirullah."

"Apa setelah mendengar langsung aku bisa lihat senyum kamu lagi?" monolog Ali menatap kosong sesaat jalanan di depan nya.

*****

Memandang lekat Airin yang begitu pulas membuat Ali sangat hati-hati menggendong nya. Bibirnya mendarat cepat di kening Airin, takut ketahuan orang sekitar. Ali langsung saja membuka pintu tanpa mengetok, dia tidak ingin istrinya sampai terbangun nantinya.

Wajah damai Ali yang selalu tersenyum kini berganti suram, rumah yang dulunya tempat ternyaman terasa pengap bagi Ali saat ini. Dia akan menjadi laki-laki pecundang nantinya, tanpa sadar tangan yang berada di tungkai kaki istrinya sedikit meremas kuat. Jangan sampai kesabarannya habis karena masih ada istrinya bersamanya.

"Ehm," lenguh Airin merasa sedikit tak nyaman. Dia semakin merapatkan kepala di dada bidang Ali di balik kemeja putihnya.

Bibirnya berkedut geli namun Ali tahan, jangan sampai tersenyum!

"Akhirnya kalian sampai juga," seru Hazna menghampiri Ali yang berdiri tegang di ujung tangga.

"Kamu langsung saja ke kamar Zizah, biar Airin di bawa sama santri suruhan Umma."

Ali mengabaikan, dia tetap melangkah pergi.

"Hazbi, mau kemana kamu?!" Raut marah tercetak jelas di wajahnya. Meninggalkan perasaan sesak sampai mana takdir ini berhenti terombang-ambing. Hazna kemudian menangis sendirian di sudut kamarnya, apa memang harus begini caranya? Sebenarnya dia sebagai seorang perempuan tak tega, namun bukankah perasaan anaknya harus lebih di utamakan daripada orang asing?

ALI HAZBI (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang