14. Bayi Besar

1K 97 6
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Jumpa lagi di hari minggu malam senin, ehek.

•••

"Bagaimana?" tanya Airin penuh rasa cemas.

Ali tidak bisa lagi menyembunyikan raut sedihnya, dia segera memeluk Airin. Menghirup rakus aroma istrinya yang begitu candu.

"Ketiga remaja itu pyur tidak tahu soal kejadian. Polisi pun menyatakan jika Ilham bunuh diri," balas Ali semakin mengeratkan pelukannya.

"Lalu kenapa kamu sedih? Semua sudah terbukti, Mas." Demi menenangkan hati sang suami nya, ia memberi sebutan romantis itu.

"Hati saya masih janggal," gurau Ali terakhir kali, kini terdengar deru nafas pelannya. Ali dengan kantong mata hitam akibat semalam adiknya di teror pun dia jatuh tertidur, Ali lemas sekali seharian ini. Bolak-balik dari kepolisian-pesantren-rumah korban.

Benar saja, Ali demam.

Airin begitu telaten merawatnya, dia memasak air panas. Mengompres kening suaminya dengan kain yang sudah dibasahi air panas yang telah di campur air dingin. Tidur nya lelap sekali, beruntung Ali sudah menunaikan sholat Isya bersamanya. Dia benar-benar membutuhkan waktu tidur cukup.

Keadaan sudah mulai membaik tapi orang rumah masih perang dingin. Masalah itu membuat hubungan Ibu dan anak menjadi renggang meski sudah terbukti jika Azizah tidak bersalah. Tetapi Hazna yakin jika surat yang dijadikan salah satu bukti ialah milik anaknya, mengapa Azizah tidak jujur saja? Hazna sebagai Ibu kandungnya sama sekali tidak pernah mengajarkan anaknya berbohong.

Athar ikut kena imbas, dia tidak diperbolehkan oleh istrinya untuk tidur satu ranjang. Walau masih satu rumah, Athar seperti berbeda negara saja tidak bebas melihat wajah Hazna.

"Besok nggak usah puasa, ya?" saran Airin mengelus rambut suaminya yang agaknya sudah gondrong.

"Ndak."

Jawabannya begitu lempeng dan singkat.

"Kenapa nggak mau? Harusnya kamu nurut dong sama istri."

Ali menatap Airin menyipit, matanya terlalu buram akibat banyak menangis. Kepalanya seperti dibelah dua, teramat sakit.

"Besok pasti sembuh," lirih Ali membalas.

"Kalau semakin parah gimana?"

"Aduh." Airin meringis kecil, tangannya digigit Ali namun tidak sampai berbekas.

Gelengan lemah Ali pertanda bahwa ucapan dia sama sekali tak ingin dibantah. "Ndak ya ndak. Kamu jangan ngomong seperti itu, ucapan adalah doa. Harus ngomong yang baik-baik. Seperti, Ali semoga makin ganteng biar Airin nggak berpaling."

"Dih, narsis," geli Airin merasa gemas.

"Iya iya, semoga Ali makin jelek."

Airin tergelak sejenak melihat wajah jutek suaminya.

"Bercanda."

Elakan Airin tidak mempan, wajah Ali malah semakin menekuk. Menepis tangan Airin untuk menyingkir dari kepalanya. Dia sekarang benar-benar dalam mode ngambek.

"Astaghfirullah, kenapa semakin kesini saya seperti ngurusin bayi besar. Mana kalo ngambek lucu, sok-sok an munggunin. Bahunya getar tuh, lagi nangis, ya?"

Bukannya membujuk, Airin semakin menjadi menjahili Ali. Kapan lagi coba, melihat wajah yang dari luar itu terkesan datar nan dingin tiba-tiba berubah merajuk seperti bayi pada umumnya. Ali itu definisi semakin kesini semakin menggemaskan, beruntung dirinya menjadi istri seorang pria yang ahli agama mesti dengan bayaran.

ALI HAZBI (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang