بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
•••
Airin berusaha terus berada di samping Ibu mertuanya, walau posisinya tidak terlalu penting karena Hazna masih saja belum tenang. Tubuh Hazna bahkan terihat lebih kurus semenjak Azizah pergi entah kemana tanpa kabar dari dua minggu yang lalu. Padahal puasa akan usai beberapa hari lagi, tapi nuansa panti lebih mencekam dibanding kuburan yang berpenghuni tak kasat mata.
Sedangkan Ali masih terus menyelidiki kemana adiknya pergi, dia bersama Athar dan kepolisian masih belum menemukan tanda-tanda secuil saja mengenai Azizah. Rambut Athar mulai gondrong, laki-laki berumur itu mulai frustasi akan dugaan yang bersemayam di otaknya. Beruntung Ali terus berada di dekat ayahnya yang sudah beberapa kali mencoba bunuh diri. Karena dia selama ini begitu acuh, mengikuti egonya bahwa Azizah juga terlibat akan kasus pembunuhan di panti. Dia kalut saat bisikam itu mulai memenuhi telinga.
"Ba, istighfar," bisik Ali melihat tangan Athar begitu bergetar.
"Azizah segera ditemukan, Hazbi percaya itu. Dan Abba juga harus, jangan putus asa untuk terus berdoa, Ba."
Ali menuntun tubuh Athar agar bisa duduk sejenak. Hari-hari mereka selalu mengikuti kemana polisi sedang menyelidik.
"Sampai kapan?" tanya Athar terlihat ringkih.
"Azizah putri satu-satunya kami, permata kami. Andai saja waktu itu Abba percaya jika Azizah tidak terlibat kasus pembunuhan itu, pasti Azizah nggak akan pergi dari rumah, kan?"
Hazbi menggelengkan kepalanya. "Nggak Ba, Zizah nggak kabur. Dia di culik, mana mungkin putri Abba yang nurut itu kabur."
"Kamu tahu siapa penculiknya?"
Lagi lagi Ali menggeleng.
"Kalau Hazbi tahu orang itu sudah habis di tanganku."
Athar menatap serius putranya. "Apa semua ini karna istrimu?"
Tubuh Ali menegang sempurna. "Mengapa Abba bisa berbicara seperti itu, Airin bahkan selama ini berada di sisi Ali."
"Oh bukan-bukan, tapi karena kalian berdua. Iya, kalian berdua yang tiba-tiba datang ke ndalem lagi. Berpura-pura baik, padahal ingin balas dendam dengan Azizah. Begitu, kan?" Dugaan Athar semakin gila, Ali menatap sendu sang ayah.
"Abba harus istirahat, Ali janji akan membawa pulang Zizah bagaimana pun caranya," ujarnya sambil memegang lengan Athar namun segera di tepis.
"Satu hari yang lalu kamu pun berbicara begitu, semua yang kamu ucapkan omong kosong!" sentak Athar merasa dibohongi.
Para polisi hanya terdiam, mereka juga sedang berusaha. Tapi orang tua pihak korban selalu semena-mena, padahal usaha mereka pun begitu keras. Bagaimana juga semuanya butuh waktu, mereka juga manusia yang butuh istirahat jika sudah lelah.
"Pak, tolong ambilkan obat di tas saya," ucap Ali meminta tolong.
Memang jika keadaannya sudah begini yang bisa menenangkan Athar hanyalah obat penenang.
*****
"Ai, sementara kamu tidur di salah satu kamar santri putri dulu ya?" tawar Ali hati-hati. Wajahnya menatap damai Airin yang di tatap balik penuh tanya.
Saat akan berbohong Ali menahan nafas. Posisi Airin seperti menggodanya, membuat dia harus berkata jujur demi keselamatan jantungnya.
"Kaki kamu jangan gitu, saya susah geraknya."
Airin menatap remeh sang suami. "Terus apa masalahnya sama mulut kamu mau ngomong? Nggak ada tuh."
"Udah sekarang kamu jujur sama say- aku."
Baru Ali akan membuka mulutnya, dia dihentikan oleh tangan Airin yang merambat ke dada Ali secara sengaja. Suara nafas Ali pun semakin memberat.
"Sebentar, aku kepengen kamu sekarang jangan ngomong formal lagi sama aku. Pakai aku bukan saya, oke?"
Ali hanya diam, dia sedari tadi memejamkan mata menikmati elusan Airin di dadanya. Tidak fokus dan telinganya memerah.
"Kamu dengar kan, Mas?" tutur Airin membuat Ali lantas membuka mata menahan perih saat perutnya di cubit. Jika akan tidur memang Ali selalu membuka atasannya, dia sekarang bertelanjang dada.
"Denger, sekarang aku yang ngomong, kamu diem." Suara seraknya terdengar mengerikan di telinga Airin, dia sedikit menjauhkan tubuhnya namun segera Ali lilit juga kaki Airin agar tidak bisa kemana-mana.
Hembusan nafas mereka saling bersahutan. Airin mengalihkan matanya guna menghindar tatapan Ali, dia merutuki dirinya sendiri karena telah menggoda suaminya.
Airin berdehem canggung, memberikan waktu untuk Ali berbicara.
"Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu."
"Kenap—"
"Jangan di potong, kamu sekarang disini sebagai pendengar," putus Ali dan Airin pun mengangguk ragu akan keintiman mereka.
Cengkraman dipinggang Airin semakin mengerat saat Ali sudah membuka suara. "Abba curiga, bukan lagi curiga. Beliau menuduh kamu bahkan aku juga sebagai penculik Azizah."
"Aku tahu Mas, Abba sedang kalut," sahut Airin balas memeluk Ali.
Bahunya terasa basah, punya suami seperti bayi saja, cengeng. "Mas, kalau memang keputusan kamu seperti itu aku pasti turutin kok. Daripada pergi dari pesantren di saat ndalem lagi kacau-kacaunya, aku yang nggak mau itu terjadi. Cukup satu kebodohan aku dan kamu waktu itu aja, jangan di ulangin."
"Ada satu hal yang kamu harus tahu juga Mas."
"Hm?" Ali merengek manja diceruk lehernya, mendusel-dusel entah sedang mencari apa.
"Aku, hamil."
Namun Ali tidak sepenuhnya mendengar. Ketukan pintu kamar mereka terdengar keras sampai ke dalam.
Saat baru saja pintu terbuka, muncullah Hazna dengan raut wajah gembiranya.
"Azizah balik," katanya menarik lengan Ali tak sabaran.
Airin mengelus perutnya dari luar, bibirnya berkedut namun matanya bermaksud lain. Lain waktu ia akan memberitahu suaminya, sesegera mungkin bila perlu.
Suasana ndalem kembali lagi penuh warna, Airin senang akan hal itu.
"Jadi sayang, kemana selama ini kamu pergi?" bondong Hazna bertanya. Ibu dua anak itu mencium berulang kali pipi Azizah yang jauh lebih berisi. Apalagi penampilannya seperti bukan orang habis di culik.
"Aku cape, Umma. Zizah ingin istirahat."
Hazna tersenyum lembut, dia mengusap sayang kepala anaknya. "Maaf karena Umma terlalu khawatir sama kamu."
"Nggak papa, tapi aku pengen tidur sekamar sama Abang," tukasnya tanpa ragu, manik mata Azizah begitu lekat menatap Airin yang hanya berdiri di sudut bangku.
"Kamu udah besar loh." Ali memberi ulasannya. Lebih mendekatkan diri ke Azizah dan dia peluk erat wanita itu.
Azizah tertawa kecil, "Nggak papa dong, kan aku kangen. Masa Abang juga nggak kangen sama aku?"
"Bodoh," ledek Ali memberikan sentilan kecil pada kening Azizah.
Ringisan pun keluar dari mulut gadis itu, namun dengan dengusan sebal dia menyeret tangan Ali hingga masuk ke dalam kamar kakaknya.
Semoga saja selalu seperti ini, Airin sungguh terhibur. Dia yang sedari kecil hanya hidup dengan abang bejatnya sekarang begitu beruntung, banyak orang-orang yang masih memiliki hati sebaik keluarga suaminya.
Kakinya melangkah mengikuti dimana kedua orang itu sedang bersenda gurau. Sedari Azizah pulang dia belum menyapanya, bahkan seakan acuh? Atau mungkin Azizah memang sudah sangat lelah. Airin berusaha memakluminya.
***
Siapa yang nggak konsisten sama satu cerita? Ya pastinya, saya saya sayaaa 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
ALI HAZBI (NEW VERSION)
RomansaJudul awal : Chase You (2A) UDAH NGGAK HIATUS YAA Setelah mengetahui sedikit seluk beluk gadis yang akan menjadi istrinya, apakah dia akan tetap pada awal tujuan? Masih banyak misteri, dan Ali akan membongkar. Hanya saja ia merasa tidak sanggup bil...