16. Luka Mendalam

858 84 3
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

•••

Sejak Azizah pulang, Airin merasa terasingkan. Selama seminggu selepas hari Raya Iedul Fitri pun Ali jarang berkomunikasi dengannya, waktu pria itu seperti hanya untuk Azizah. Tapi bukankah memang dia hanya orang asing? Beruntung saja takdirnya di pinang oleh seorang putra kyai pemilik pondok pesantren besar itu. Walaupun saat pertama kali menginjakkan kaki di ndalem sempat tidak mendapat restu dari adik suaminya, hingga pada saat itu Ali memilih pergi demi menyelamatkan harga dirinya.

Semuanya terasa begitu cepat berlalu. Walau belum nampak, rutinitas baru Airin saat ini senantiasa mengelus perutnya. Sedang apa janin sebesar biji kacang hijau itu disana? Rasanya Airin ingin segera menemuinya di alam dunia.

"Airin," sapa Rumi yang merupakan teman sekamarnya.

Yah, semenjak Azizah pulang gadis itu terlihat enggan melihatnya. Mungkin karena Ali tidak mau adiknya lagi kabur dia menuruti begitu mudah. Menuruti ucapan tak masuk akal jika Azizah tidak ingin melihat Kakak Iparnya. Demi kenyamanan bersama pun Ali akhirnya mengambil keputusan agar istrinya tidur di salah satu kamar santri putri sementara. Ali akan memberi sedikit petuah pada adiknya yang mulai membangkang.

Memang saat ditanya kemana saja Azizah pergi, gadis itu menjawab kabur. Dia frustasi dengan sikap acuh tak acuh dari kedua orangtuanya, apalagi beberapa santri yang pernah papasan dengannya bersikap sinis. Tidak ada pilihan lain dia pun pergi dari ndalem tanpa sepengetahuan siapa pun. Hanya saja yang paling aneh, Azizah sama sekali tidak membawa perintilan semenjak keluar, bahkan isi kamarnya pun masih tertata rapih. Mengapa saat dia kembali dandanan nya begitu mewah, itu yang selalu ada di benak Airin.

"Lagi mikirin apa?"

Airin tersenyum kecil, dia berhenti mengelus perutnya. "Nggak lagi mikirin apa-apa. Ternyata mondok itu enak, ya."

"Betull! Selain dapet temen banyak, yang aku rasain jadi adem. Bisikan setan udah nggak ada lagi semenjak aku berusaha mendekatkan diri sama Allah."

Tiba-tiba saja Rumi mengambil jarak dekat dengan Airin, dia mengecilkan suaranya seakan takut sekali ada yang mendengar padahal santri yang ada di dalam kamar ini pun hanya ada dia dan Rumi sendiri.

"Kamu jangan sebarin sama siapa-siapa, Rin. Ini rahasia besar aku," bisik Rumi tepat di sebelah telinga Airin.

Tanpa bisa dicegah Airin hanya mengangguk saja. Dia menunggu Rumi kembali berbicara.

"Aku pernah mau bunuh bayi dan itu adekku sendiri."

Glek

Nafas Airin seketika tercekat, dia menatap tak percaya gadis anggun yang dihiasi senyum indah itu.

"Orang rumah sering nganggep aku gila. Tapi pas dipikir-pikir sendiri emang bener sih, tembok aja aku ajak bicara," ucap Rumi enteng sekali.

"Aku sering makan bungkus makanan ringan, kaya bungkus chiki-chiki gitu."

"Perut kamu gimana? Kata orang-orang kalau makan biji buah apapun bisa numbuh pohonnya, nah kamu makan bungkus chiki-chiki masa numbuh chiki-chiki nya," heran Airin berfikir aneh.

Tangan Rumi sudah siap menjitak kepala Airin, namun dia urungkan. "Soal itu aku nggak tahu, tapi sampai sekarang aku baik-baik aja. Dan semua keanehan ku karena bisikan setan/jin. Kadang kucing imut yang nggak salah apapun pengen aku cekik."

"Bayi tetangga pernah aku kasih minum air pipisku sendiri. Dia yang aneh sih, udah tahu aku dianggap gila malah disuruh momong bayi."

"Sekarang gimana?" Airin bertanya penuh penasaran.

Sudut bibir Rumi melengkung, dia terlihat bahagia sekali. "Aku udah sembuh! Semenjak disaranin sama Tante untuk mondok nggak ada keanehan lagi sama diriku."

"Aku jenuh di rumah, Rin. Kadang sering bengong, sampe-sampe bisikan jahat itu ngehasut aku. Tiap kali aku pulang ke rumah habis ujian dan nilaiku nggak sesuai harapan mereka, aku dihukum. Adek rewel dan mereka selalu ngelampiasin ke aku. Jarang banget aku senyum di rumah, sekali senyum mereka nganggep aku gila. Padahal senyuman ku saat itu karena ingin ngasih bukti kalo aku juara di kelas."

"Jadi yang kemarin kesini ngasih bulanan, Tante kamu?"

Rumi memberikan jempolnya untuk Airin. "Pinter juga kamu. Mana mau orang tuaku kesini, Rin. Semenjak mereka tahu aku ingin membunuh anaknya mereka sudah buang aku."

Airin tahu jika tawa kecil itu bukan menunjukkan arti sebenarnya, dia rangkul Rumi mencoba memberikannya kekuatan.

"Tapi kamu jangan dendam ataupun benci balik sama mereka ya, Rum. Cukup jadikan pelajaran aja, mau seburuk apapun mereka, dari kecil mereka juga yang ngerawat kamu."

Sentakan kecil dari Rumi membuatnya kaget, Airin menatap waspada Rumi yang menatapnya tajam. "Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasakan, makanya enteng banget ngomong kaya gitu. Oh iya aku tahu, kamu anak dari orang tua yang dipenuhi kasih sayang, kan? Nggak pernah dibanding-bandingin sama saudara kandung sendiri. Makananmu pasti enak, selalu pake daging. Nggak kaya aku, sehari satu kali pake kecap aja aku udah bersyukur banget. Kamu enak Rin, dapet semua dari orang tuamu. Kasih sayang, perhatian, uang mereka. Kamu anak manja, sedangkan aku anak nggak tahu diri karena berhasil lahir di dunia ini."

Nyatanya Rumi masih belum sembuh, dia hanya mencoba kuat untuk melawan bisikan setan itu. Aura Rumi kembali menggelap sama seperti pertama kali gadis itu masuk ke dalam pesantren.

Airin semakin takut, punggungnya sudah menyentuh tembok. Tanpa bisa dicegah air matanya turun, mengingat kembali masa perih saat di rumah jahanam itu. Tangannya mengepal, memori-memori kelamnya kembali memasuki ingatan. Ya Allah, begitu buruk hambamu di masa lalu...

Airin terisak, dia memukul dadanya yang sesak.

"Rin, bantu Abang keluar cepet sama tangan kamu!"

"Jangan sesekali ngelawan kalau kamu nggak mau Abang bobol."

"Udah diem, nikmatin aja!"

Padahal Aslan Kakak kandungnya sendiri, tapi dia gadis bodoh yang selalu menuruti nafsu bejatnya itu.

Rumi tersenyum miring menganggap tangisan Airin itu sebagai perasaan bersalahnya. Tangannya mengelus pipi Airin, semakin kebawah menuju leher Rumi cekik pelan sebelum mengencang karena hasutan itu kembali memekik telinganya.

"Bunuh dia, bunuh!"

"Iya, manusia lain nggak akan pernah ngerti sebelum ngerasain penderitaan kita sendiri." Ucapan Airin melemah.

"Bahkan kamu nggak akan tahu gimana rasanya mau diperkosa sama saudara sekandung mu, kan?" Airin terkekeh pedih, dia seakan sudah menerima jika ajalnya akan segera menghampiri.

"Dari kecil, aku nggak pernah tahu dimana orang tuaku berada."

"Tiap harinya aku harus melayani dia. Kamu nggak pernah, kan?"

"Makan, soal makan seminggu aku hanya tiga kali."

"Di sekolah aku hanya dapat hinaan, karena mereka nganggep kalau aku anak dari orang tua buronan. Abangku pemabuk keras, penjahat kelamin dan salah satu korbannya itu aku. Kamu pernah merasakan itu?"

"Aku tidak membandingkan, tapi sedikit cerita agar kamu tahu jika nggak selamanya kamu yang menderita. Tapi orang lain pun sama, hanya penderitaan yang berbeda meski itu terlihat sepele. Tapi kamu nggak pernah tahu bagaimana rasanya."

"Aku sedikit berpesan. Sebelum aku pergi, semoga Rumi yang sekarang sudah berubah."

Airin kini tak sadarkan diri, matanya menutup sempurna. Menolak cahaya masuk dari pintu yang sudah didobrak kencang. Menampakkan sosok lelaki dengan pandangan datar namun tersirat penuh kekhawatiran.

***

feel sedih, marah, pengen nangis nya dapet nggak, sih? :(

ALI HAZBI (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang