Rekaman 006

25 7 0
                                    

Pancoran, 27 Agustus 1967, Pukul 19:01

-----


Maut

Sampeyan apa kabar?


Hamba

Baik, Pak.


[Hening selama sepuluh detik]

[Suara hentak bungkus berisi tembakau pada meja]

[Suara hentak kotak korek api pada meja]


Maut

Bakar tembakaunya. Baik-nya sampeyan tidak kelihatan dari wajah. Ada apa?


[Suara gesekan korek api]

[Suara rokok dibakar]

[Suara hembusan napas]

[Hening selama lima detik]


Hamba

Kenapa Pak Gandaria?


[Suara rokok dibakar]

[Suara hembusan napas]


Maut

Bukan urusan saya, bukan tugas saya untuk tau. Sampeyan pun bertanya pada saya menggunakan nama samarannya, kan?


Hamba

Kenapa Pak–?


Maut

Berhenti. Jangan sebut nama. Saya bilang baik-baik. Kita bukan divisi yang banyak bertanya. Sampeyan hanya belum terbiasa saja. Nanti lima tahun ke depan sampeyan bakal berhenti bertanya dengan sendirinya. Percaya saja.


[Suara hembusan napas]


Hamba

Apa Bapak juga sudah berhenti bertanya?


Maut

Sudah lama saya berhenti bertanya. Mungkin lebih lama dari yang sampeyan sangka.


Hamba

Apa tenang rasanya?


Maut

Kerjaan seperti ini tidak bakal kasih sampeyan tenang. Jadi tentara biasa pun juga. Tapi begini, saya kasih tau ke sampeyan. Sampai sekarang, kalau sampeyan tanya pejuang-pejuang di luar sana yang masih hidup, mereka masih ingat betul musuh pertama yang mereka tebas. Musuh kedua? Kesepuluh? Keseratus? Mereka sudah kebal. Sudah kebas. Padahal tiap musuh sama-sama manusia. Sama-sama punya cerita. Sama-sama punya keluarga. Sama-sama punya kesayangan. Apa yang membedakan musuh pertama dan keseratus, memang? Cuma nomor urut mereka saja.


Hamba

Lalu, Pak Gandaria ini musuh kita?

Sembari Menunggu HambaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang